Di setiap sudut, Si Bisu dapat membuat suatu percakapan.
Meskipun tak ada suara dan kata, tetapi ia menunjukkannya lewat gerak tubuhnya, intuisi dan pikirannya.
Matanya yang menatap dengan tajam menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan kezoliman yang terjadi di hadapannya.
Di tempat umum Si Bisu menatap lagi dengan tajam, tangannya bergerak, dan menunjukkan sesuatu bahwa ada seorang pencuri.
Di tempat para wakil rakyat, Si Bisu disumpal mulutnya dengan sejumlah uang yang membuat semua kebutuhannya terpenuhi, meskipun ia akan benar-benar menjadi bisu ditambah buta untuk seumur hidupnya.
Di tempat menimba ilmu, Si Bisu tak bisa berbuat apa-apa atas hampir hancurnya masa depan generasi bangsa di negerinya.
Di antara hingar-bingar media sosial yang penuh sesak dengan pujian, status sosial dan kehidupan, caci maki, dan sindiran, Si Bisu tak mampu mengendalikan kata-kata yang menjadi beban pikirannya kemudian merubahnya menjadi rangkaian cerita drama kehidupan yang tayang dan bisa disaksikan oleh kaum netijen di sejagat dunia maya tanpa ada batasan waktu.
Dalam suatu dialog khusus dan serius, Si Bisu menutup rapat-rapat mulutnya dan mengunci semua gerak tubuhnya demi kebaikan yang tak baik.
Di bawah langit yang gelap Si Bisu menatap bulan dan bintang dengan seksama. Ia terlihat seperti sedang berdialog dalam bahasa kalbu. Mereka seolah sudah saling terkoneksi satu sama lain.
Di tempat suci, Si Bisu berdialog pada Sang Pemilik Cakrawala. Ia meminta agar dapat berbicara, mampu mengeluarkan kata-kata dengan jujur, bersenandung melodi indah, serta meminta hal terbaik untuk negerinya dan semua makhluk yang ada di bumi.
Dalam hening, di atas media tulis, Si Bisu dapat mengeluarkan kata-katanya. Ia mengutarakan semua yang ia rasakan dan pikirkan dengan sangat gamblang, frontal, penuh dengan emosional, hasrat dan gairahnya.