Selama hampir 1 windu dia berada di pengasingannya. Dia tak mampu merasakan hangatnya matahari yang bersinar terang menghangatkan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Cahaya bulan dan bintang yang begitu indah menghiasi langit gelap pun tak mampu menerangi langkahnya dalam gelap. Mata pikirannya masih tertutup oleh ilusi yang tak jelas. Jarum jam yang terus berdetak dan berputar, baru lah dia mulai menyadari waktu, pagi dan petang.
Dia mulai menyadari keterdiamannya, “kemandulannya”, kebodohannya, ketumpulannya, kedangkalannya, betapa dirinya tak berguna sebagai insan yang yang diberi kesempurnaan hidup oleh Yang Maha Hidup.
Dia mulai beranjak, melakukan hal kecil apa pun yang bisa merubah sedikit jalan pikirannya yang masih lemah. Pikirannya membantu jiwa dan dirinya bangkit.
Sore itu dia mulai berani melangkah keluar dari tempat pengasingannya. Angin menyapu halus kulit tangan dan wajahnya. Dia mulai menghirup udara sejuk, meresapinya hingga masuk ke seluruh rongga-rongga tubuhnya yang sudah sangat haus udara segar dan bebas.
Dia terlihat mulai merasakan suatu kehidupan. Memperhatikan pohon-pohon yang sudah tinggi, tumbuh besar, dan berbuah. Bunga-bunga itu tampak tak ingin kalah, mereka seolah ingin memamerkan keindahannya dengan mekar yang sempurna dan harum hingga membuat semua orang yang melihatnya, ingin memetik, dan mencium wanginya.
Di tempat lain seorang bayi menangis dengan keras. Entah apa yang ia inginkan. Tak ada yang mengerti bahasanya karena ia belum mampu berbicara. Ibunya memeluknya erat dan menciumnya, mengayunkan gendongannya, mengusap punggungnya dengan lembut, kasih dan sayangnya hingga akhirnya ia berhenti menangis dan merasa nyaman di pelukan sang bunda.
Bocah-bocah itu tersenyum lebar dengan tulus dengan gigi-gigi susu yang baru tumbuh. Mereka begitu tekun belajar banyak hal dengan caranya sendiri tanpa siapapun yang mengetahuinya, merangkak demi mencapai tempat yang ingin ia singgahi hingga akhirnya mereka mampu berjalan sendiri tanpa dituntun lagi oleh orangtuanya.
Bocah laki-laki itu sedang belajar mengayuh sepedanya tanpa roda di samping kiri dan kanannya. Beberapa kali terjatuh dan terluka, tapi ia pantang menyerah untuk mencobanya lagi, sampai akhirnya ia mampu dengan lancar mengayuh sepedanya.
Perempuan itu sudah berumur 78 tahun, tapi semangat hidupnya sangat tinggi, ia masih sangat sehat, giginya hampir masih utuh dan bagus, ia masih dapat melakukan semuanya sendiri. Mereka menyapanya dengan ramah. Tuhan telah memberkahi hidup mereka, kehidupan dan dunia yang sangat indah.
Dia pun mulai dapat merasakan keberkahan-Nya. Mereka memberikan senyuman tulus padanya, dan dia membalas senyuman itu, senyuman yang tersembunyi selama beberapa waktu. Kakinya masih melangkah menyusuri garis jalan itu.
Di persimpangan jalan dia melihat bendera kuning dipasang di depan salah satu rumah. Terdengar suara tangisan cukup keras, juga terdengar suara-suara isakan. Mereka begitu kehilangan orang yang mereka sayang. Selang waktu beberapa menit sebuah keranda mayat keluar, melewatinya, tepat di depan matanya.
Pikirannya mulai menerawang memandangi keranda yang berisi makhluk yang tak lagi bernyawa digotong dan dibawa ke peristirahatannya yang terakhir. Suara tangisan dan isakan masih terdengar. Mereka terlihat sangat kehilangan. Bagi mereka tak akan ada lagi perjumpaan, canda tawa dan berbagi kasih sayang dengan makhluk yang ada dalam keranda itu untuk selamanya. Semua yang berasal dari-Nya, akan kembali pada-Nya. Tuhan dapat mengambil milik-Nya kapan pun Dia mau, dan tak akan ada seorang pun yang tahu kehendak-Nya.
Matanya berkaca-kaca melihat apa yang baru saja dia lihat, bahwa rasa syukur telah dia abaikan selama ini. Semua yang dia lihat seperti membangunkannya dari mimpi buruknya selama ini. Dengan kekuatan yang dahsyat dia berusaha melepaskan pikiran, perasaan yang terkutuk, dan melupakan semua yang terjadi dalam mimpi buruk itu.
Dia mulai membuka matanya, tapi masih terdiam, mengumpulkan nyawa-nyawa yang masih berpendar, menenangkan diri hingga dia merasa bahwa jiwanya sudah benar-benar terkumpul menyatu dengan raganya.
Sebuah untaian kata dari bagian awal mimpi buruknya itu (It’s funny when you cannot sleep while others have created many stories in their sleep. You feel that you’re a sleepless – living man in this sleeping – dead world. You are dreaming while your eyes open. It’s horrible dream, a nightmare, when you experience this. Pictures of your departing life appear and reappear creating a gallery broken memories at the corner of your mind) mengikutinya mengalir ke dalam pikiran dan jiwa sadarnya. Selama beberapa waktu kata-kata itu masih menggelayut di pikirannya. Sampai akhirnya dia melambung jauh, terbang tinggi, lalu menutup matanya dengan damai.