Bukan Hanya Sekadar

Menonton film adalah salah satu hal yang menyenangkan bagi saya. Karena di dalamnya saya bisa mendengar kata-kata, melihat tokoh dengan karakter yang berbeda-beda dan unik, melihat sesuatu yang belum pernah saya lihat melalui setting lokasi yang indah dan menakjubkan, mendengar melodi back sound dan lagu yang dapat menambah emosi cerita di dalamnya, dan hal yang paling penting adalah pesan yang disampaikan oleh sang penulis cerita, sutradara, dan seluruh tim melalui cerita yang disajikan. Menonton seperti suatu candu. Kalau sebulan belum nonton film terbaru di bioskop, entah kenapa saya selalu gelisah. Tapi tiga bulan terakhir saya sudah jarang ke bioskop. Biasanya minimal sebulan sekali saya harus wajib kudu nonton di bioskop, tapi belakangan saya ke sana cuma kalau ada film yang sudah saya incar sebelumnya. Sebagai gantinya, saya lebih sering menonton film di YouTube, tapi tentunya bukan film-film baru. Tak peduli tahun berapa film itu dimainkan, tak peduli siapa pemainnya, yang penting adalah bisa menghilangkan candu saya. Dari sekian banyak pilihan film yang ada di YouTube, 15 – 20 menit pertama yang menentukan apakah saya akan menonton film itu sampai akhir atau tidak.

Dangerous Minds (1995), dari judulnya sudah terlihat sangat menarik. Film ini dimainkan oleh Michelle Pfieffer yang berperan sebagai Louanne Johnson, seorang mantan pengajar kelautan dan kemudian melamar di sebuah sekolah dan langsung diterima untuk mengajar siswa-siswa senior high school yang super duper nakal, berperilaku sangat buruk, dan liar. Pada awalnya ia seperti tertekan dan menyerah dengan situasi kelas dengan para siswa remaja yang sangat amat kacau. Di hari pertama ia mengajar, tak ada satu pun siswa yang memperhatikannya. Mereka asyik dengan kesenangan mereka sendiri. Ia hampir menyerah. Tapi kemudian ia mempelajari sebuah buku untuk menghadapi anak-anak “luar biasa” itu. Kemudian ia merubah penampilannya dengan berpakaian dibuat se-santai mungkin dan tidak kaku. Ia menerapkan cara belajarnya dengan menggunakan puisi-puisi. Satu per satu beberapa puisi dibahas di kelas itu, sampai akhirnya ia bisa menarik perhatian, merubah sesuatu menjadi lebih baik, dan dicintai siswa-siswanya.

Moondance Alexander (2007). Terlihat tak ada yang menarik dengan judul film ini. Tapi yang membuat saya ingin menonton film ini adalah ketika saya melihat pemeran utama seorang remaja perempuan yang baru saya ketahui namanya adalah Kay Panabaker yang memerankan Moondance Alexander terlihat sangat manis dan atraktif menurut saya. Jalan cerita dan konflik dalam film ini sebenarnya biasa aja, yaitu tentang dua orang remaja perempuan yang sombong, suka meremehkan orang lain dan tak menyukai Moondance. Moondance, nama unik itu lah, dengan karakter semangat dan jiwa positif yang menarik saya untuk menontonnya sampai selesai. Selain itu, film ini cukup menghibur dan memberi inspirasi dari semangat yang Moondance miliki. Film ini terinspirasi dari kasih nyata.

Cashback (2004/2006). Ketika membaca judulnya saya pikir ide utama cerita dalam film ini berhubungan dengan uang, penjualan, pembelian atau bisnis. Memang ada hubungannya sedikit dengan semua itu, tapi itu bukan konflik utama dalam film ini. Berawal dari seorang laki-laki yang bernama Ben yang sangat patah hati setelah putus dengan pacarnya, Suzy. Ia tak bisa menghilangkan Suzy dari pikirannya. Semenjak itu ia mengalami insomnia, sampai akhirnya ia melamar pekerjaan di supermarket yang mempekerjakannya pada shift malam. Ben memiliki cita-cita menjadi seorang artis, tepatnya seorang pelukis. Ia senang sekali melukis. Ia memiliki imajinasi liar tentang tubuh perempuan dan ia selalu terkesan dengan kecantikan tubuh perempuan. Hal itu bermula ketika sewaktu kecil ia melihat seorang perempuan (entah ibunya atau teman ibunya) yang sengaja telanjang bulat sehabis mandi lewat di depan mata kepalanya berjalan menuju kamarnya, ditambah lagi teman laki-lakinya yang senang melihat majalah orang dewasa yang dimiliki orangtuanya. Ketika ia memiliki kekuatan untuk menghentikan waktu di supermarket tempat ia bekerja, pada saat itu ia selalu menelanjangi semua wanita yang sedang berbelanja kemudian menggambar setiap lekuk tubuh mereka dengan indah. Awalnya saya agak risih melihat perempuan ditelanjangi dan melihat mereka bugil, seperti melihat diri sendiri ditelanjangi oleh laki-laki yang memiliki kelainan jiwa. Tapi kemudian saya berpikir dan melihat hal itu dari beberapa sisi bahwa itu bisa dibilang sebagai suatu seni dan keindahan yang dirasakan oleh Ben, bukan seksualitas atau pornografi. Walau plot ceritanya agak nggak nyambung dan lompat-lompat, tapi saya cukup terhibur oleh beberapa adegan dan ending yang indah ketika akhirnya Ben ditawari oleh suatu agen untuk memamerkan lukisan-lukisannya dan berhasil mewujudkan mimpinya. Kemudian disusul dengan menemukan cinta baru, yaitu teman kerjanya di supermarket tersebut. Rasa cinta itu ia tunjukkan melalui lukisan si perempuan dari berbagai sudut wajah dengan indah yang terpajang dalam pamerannya.

Ketika menonton sebuah film tentunya saya mencari kesenangan dan hiburan yang menghibur atau memberikan sesuatu pada jiwa saya. Tanpa saya sadari film-film yang tokoh utamanya berprofesi sebagai penulis, editor, jurnalis, atau berhubungan dengan majalah, buku, sastra atau sejenisnya selalu membawa saya untuk menontonnya tanpa kompromi siapa pemainnya, terkenal atau tidak, dan lain-lain. Dan tanpa saya sadari juga film-film yang saya tonton diangkat berdasarkan dari sebuah novel. Sungguh ini bukan kesengajaan saya memilih film-film itu. Saya hanya menonton sebuah film jika dari awal tidak membosankan dan menarik saya untuk menyaksikan ceritanya lebih jauh, tak peduli film lama atau baru, tak peduli siapa pun pemainnya.  

Beauty and The Briefcase (2010), cerita ini diangkat berdasarkan novel Diary of Working Girl yang ditulis Daniella Brodsky. Pemeran utama film adalah Hillary Duff yang berperan sebagai Lane Daniels, penulis (freelance) yang menulis tentang dunia fashion, yang berambisi bisa bergabung bekerja di majalah Cosmopolitan. Ketika temannya memberi kabar bahwa ia memiliki kesempatan untuk bekerja di majalah besar itu, mimpinya seperti menjadi nyata. Tapi sayang Kate White (perempuan yang mewawancarainya) tak satu pun menyetujui tema artikel yang ia tawarkan untuk majalah besar itu. Sampai pada beberapa percakapan mereka membicarakan masalah cinta dan dunia bisnis. Tiba-tiba Lane memiliki ide tentang tema bagaimana menemukan cinta dengan bergabung dalam dunia bisnis, dimana yang bekerja di dalamnya rata-rata adalah laki-laki. Karena ide spontannya itu, akhirnya Lane diterima bekerja di Cosmo dan harus menulis artikel tentang itu, lalu menemukan cinta “man in suit”. Hal yang harus ia lakukan adalah menyamar bekerja di perusahaan bisnis untuk menemukan cinta dari setiap “checklist item” yang ia buat untuk menemukan “the magic man”, yang kemudian akan ia jadikan artikelnya masuk ke halaman majalah Cosmo. Dengan percaya diri ia melamar di perusahaan keuangan dan diterima. Lane senang sekali karena ia bertemu banyak laki-laki di dalamnya dengan gaya dan karakter yang berbeda-beda. Beberapa laki-laki ia ajak kencan untuk menemukan “the magic man”, tentunya dengan “checklist item” yang ia tulis. Tapi usahanya gagal. Tak ada satupun yang pas. Sampai akhirnya penyamarannya terbongkar. Kemudian ia menulis semua tentang yang ia alami di perusahaan itu tanpa menemukan “the magic man”. Ia pikir ia telah mengecewakan Cosmo atas artikel yang ia tulis tidak sesuai yang diharapkan. Tapi ternyata pikirannya salah, bahwa artikel itu yang dicari oleh majalah Cosmo. Karena tulisannya lah, ia menjadi cover majalah Cosmopolitan. Berhubungan dengan checklist item and “the magic man”, Kate menyadarkan Lane bahwa Tom (managing director di perusahaan bisnis itu),  laki-laki yang sama sekali tak ada dalam checklist item-nya, justru dia lah  the true “magic man” yang Lane cari.

Lying To Be Perfect (2010)

Pemeran utamanya tidak terlalu familiar buat saya, tapi saya sangat tertarik dengan judulnya. Ternyata film ini juga diangkat berdasarkan novel, yaitu novel Cinderella Pact. Film ini bercerita tentang seorang editor, Nola Devlin, yang bekerja di suatu perusahaan majalah, berbadan gemuk dan berpenampilan lusuh hingga diabaikan dan diremehkan oleh rekan kerjanya. Sampai pada suatu hari ia berada di depan komputernya dan merubah dirinya sendiri menjadi seorang kolumnis penasehat yang cantik, pintar, juga sempurna yang ia beri nama Belinda Apple, karakter yang sangat bertolak belakang dengan dirinya. Nola merekomendasikan Apple di tempat ia bekerja. Apple membalas email-email yang berhubungan dengan seputar masalah perempuan dan selalu memberi solusi hingga membawa perubahan bagi setiap perempuan yang meminta nasehatnya, hingga akhirnya menciptakan sesuatu yang ia beri judul Cinderella Pact. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa Belinda Apple adalah Nola, termasuk dua temannya yang juga berbadan gemuk. Tak tahan dengan tubuh gemuknya yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang sekitarnya, kemudian ia dan 2 orang temannya berusaha menurunkan berat badannya dengan manggunakan konsep Cinderella Pact, dan mereka berhasil. Di sisi lain, keberadaan Belinda Apple mulai dipertanyakan dan Nola harus memilih alter egonya di saat ia sudah berhubungan dengan seorang laki-laki yang ia cintai dan mencintainya.

Film yang baru-baru ini saya tonton adalah The Wishing Well (2009). Pemainnya tidak terlalu familiar buat saya, tapi saya tertarik untuk menontonya karena berhubungan dengan dunia redaktur. Film ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Cynthia Tamerline, seorang reporter majalah Celeb yang kemudian dikirim untuk mencari berita tentang kota kecil di Illinois. Di sana ada suatu tempat yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan yang disebut Wishing well. Permintaan bisa terkabul hanya ketika seseorang membuat permintaan yang benar, kemudian melempar koin ke dalam sumur. Awalnya Cynthia tidak memercayai itu, sampai ia bertemu dengan gadis kecil manis, sangat manis, yang bernama Abby, yang sering meminta permintaan di sekitar sumur. Setelah Cynthia mencoba meminta permintaan dan melemparkan koin ke dalam sumur, tiba-tiba sesuatu yang ia tidak inginkan terjadi. Entah bagaimana tiba-tiba ia bekerja magang di koran lokal milik ayah Abby. Ketika ia ingin pulang dan meminta pertolongan dengan menelpon teman-temannya dari majalah Celeb (tempat ia bekerja) tak seorangpun mengenalinya. Sampai akhirnya ia harus bekerja di perusahaan koran lokal itu. Sebenarnya jalan cerita film ini agak kurang jelas, pada saat tiba-tiba Cynthia berada dalam pesawat dalam keadaan tertidur dan kembali lagi ke kotanya, setelah beberapa hari ia berada di kota kecil itu. Tapi itu nggak jadi masalah buat saya. Penulis atau sutradara bisa membuat jalan cerita atau plot apa pun selama cerita itu masih berhubungan satu sama lain dan memberikan sesuatu pada penonton. Sesuatu yang dapat saya ambil dari tokoh Cynthia adalah dimana pun ia bekerja (dengan bidang yang ia geluti (menulis)), meski bukan tempat kerja yang ia inginkan, ia bisa bekerja dengan sangat baik dan membawa perubahan bermakna bagi orang lain. Sebenarnya inti dari keseluruhan cerita ini adalah tentang kepercayaan dan keyakinan.

Under The Tuscan Sun (2003), film ini diangkat dari novel dengan judul buku yang sama, tapi karakter dan kejadiannya sudah difiksikan agar lebih dramatis. Di dalamnya menceritakan tentang seorang penulis yang bercerai dengan suaminya, kemudian sahabatnya memberi saran padanya untuk mengambil liburan dan memberikannya tiket ke Italia. Awalnya ia tidak menerima tiket itu, tapi akhirnya ia menerimanya dan melakukan perjalanan ke Italia dan tinggal di salah satu kota yang ada di sana. Ia membeli vila tuscany berharap ia memulai suatu perubahan dan mendapakan kehidupan yang lebih baik. Jalan cerita film ini sangat ringan dengan konflik yang sederhana dan cukup menghibur. Setting lokasi menjadi hal yang menarik perhatian saya dengan pemandangan yang ada di kota tersebut dan mendengar beberapa kata dan kalimat yang diucapkan dalam bahasa Italia menambah pengetahuan bahasa asing saya, walau tak banyak.

Film bergenre drama atau romansa selalu menarik untuk ditonton. Diantara banyak judul bertema cinta, saya mencoba memilih film Love Comes Softly (2003). Ternyata film ini juga diangkat dari sebuah novel. Film yang dimainkan oleh si cantik Katherine Heigl yang berperan sebagai Marty Claridge, menceritakan tentang perempuan muda yang telah menemukan pasangan hidupnya, menikah dan sangat bahagia, tapi tiba-tiba ia harus menjadi janda karena suaminya meninggal (karena kecelakaan jatuh dari kuda). Kemudian ia harus menikah lagi dengan seorang duda yang sudah memiliki anak perempuan yang tidak menyukainya, dan Marty pun sebenarnya tak mencintai laki-laki itu. Tapi ia beruntung laki-laki itu sangat baik dan menghormatinya. Awalnya sangat sulit ia melewati hidup barunya, terlebih lagi anak perempuan suaminya tidak menyukainya. Tapi ia bisa melalui semua itu, sampai pada beberapa peristiwa akhirnya sang anak tiri menyukai dan menghormatinya. Dan cinta mulai tumbuh pelan-pelan dan lembut ke dalam hati mereka. “Sometimes love is a firework, sometimes love just comes softly”

If Only (2004). Entah mengapa ketika saya membaca judul ini saya langsung tertarik ingin menontonnya. Terlebih lagi ketika saya tahu yang memainkan film ini Jennifer Love Hewitt yang berperan sebagai Samantha Andrews. Sebenarnya saya bukan penggemar beratnya, tapi saya suka dengan senyumnya yang khas dan wajah ‘lancip’nya. Ketika saya menonton ceritanya lebih jauh ternyata cukup menarik. Film ini tentang tragedi cinta. Bercerita tentang sepasang kekasih yang bernama Samantha dan Ian. Beruntung buat Ian, ketika ia seperti bermimpi atau mungkin nyata kehilangan kekasihnya Samantha dalam sebuah kecelakaan, sebuah mobil menabrak mobil yang ditumpanginya dan ia meninggal dunia, tapi itu tidak benar-benar terjadi. Ketika Ian (seperti) mendapatkan waktu itu kembali, ia memperbaiki hubungannya dengan Samantha yang mulai ia abaikan karena pekerjaannya. setelah itu ia menunjukkan betapa ia mencintai kekasihnya, dan tidak akan membiarkannya pergi meninggalkannya. Waktu seperti berulang, kejadian yang pernah ia lewati terulang kembali, semua terjadi sama persis. Sejak saat itu Ian benar-benar berusaha membuat seseorang yang ia cintai bahagia. Tanpa disangka dan diduga, di akhir cerita ternyata kecelakaan di jam yang sama saat terjadi kecelakaan yang dialami Samantha terjadi lagi. Tapi kali ini justru yang meninggal adalah Ian bukan Samantha, karena saat itu Ian ikut bersama Samantha. Kesedihan mendalam menghinggapi Samantha, karena Ian sudah menunjukkan betapa ia sangat mencintainya. Sungguh ending cerita yang tak terduga.

Saya termasuk penyuka film horor, tapi saya tidak terlalu suka dengan film yang berbau misteri, detektif atau sejenisnya. Tapi ketika melihat The Ninth Gate (1999), saya langsung tertarik untuk menontonnya. Pada adegan awal, seorang lelaki tua mencoba membunuh dirinya sendiri dengan menggantung diri setelah menulis sesuatu di atas kertas. Itu menjadi awal yang menarik untuk ditonton lebih jauh. Ketika layar memunculkan nama cast dan sebagainya dengan back sound musik agak menyeramkan, yang pertama kali muncul adalah nama Johnny Depp, dan ternyata film ini juga diangkat dari sebuah novel. Itu membuat saya jadi makin tertarik untuk menontonnya. Padahal ceritanya belum tentu bagus, menarik atau mungkin membosankan dengan durasi waktu 2 jam 13 menit 15 detik. Jujur, ketika saya tahu pemainnya Johnny Depp, yang saya nikmati dan perhatikan bukan ceritanya, tapi Depp nya. Di antara beberapa film nya yang pernah saya tonton, ia memakai kostum “aneh” dengan karakter yang “aneh” juga. Tapi di film ini ia tidak memakai kostum apa pun, ia memakai pakaian layaknya manusia biasa. Awalnya kelihatan aneh ketika melihatnya tidak memakai “kostum”, saya seperti tak melihat Depp. Tapi dengan ciri khas yang ada dalam dirinya, tanpa ia memakai “kostum”, saya bisa melihat dirinya yang sesungguhnya. Ah apapun bentuk Depp, apa pun perannya, bagaimana pun aksinya, sex appeal yang ada dalam dirinya selalu membuat saya terpesona. Kadang ada beberapa gerak tubuh yang membuat saya tersenyum dan tertawa walaupun ia tidak sedang melucu. Entahlah, mungkin beberapa perempuan di dunia yang suka menonton aksinya di film-filmnya merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan. Oke, cukup membahas tentang Depp. Setelah puas memperhatikan The charming Johnny Depp, barulah saya memperhatikan jalan ceritanya. Bagi saya yang nggak terlalu suka film yang berbau misteri, tapi bukan horor, cerita ini cukup menarik perhatian saya tanpa sedikitpun merasa bosan dan ngantuk selama 2 jam 13 menit 15 detik di depan laptop, durasi waktu yang cukup lama dibanding film lainnya yang pernah saya tonton. Setiap adegan membuat saya penasaran tentang akhir penyelidikan sebuah buku (The Ninth Gate yang hanya dicetak beberapa eksemplar saja) yang dilakukan oleh Corso (Depp), ya walaupun klimaks dan akhir ceritanya justru malah biasa saja menurut saya.

Itu hanya beberapa film yang saya tonton selama 3 bulan terakhir. Pastinya masih banyak film-film bagus yang bisa saya tonton dan nikmati.

Menonton film bagi saya adalah hiburan dan terapi yang paling murah dan nyaman. Di dalamnya saya juga bisa melihat orang-orang cerdas dan kreatif ketika mereka mampu membuat penonton puas melihat yang sudah mereka buat.

Ketika menonton sebuah film seperti ada yang menggerakkan sesuatu dalam diri saya secara emosional. Hal itu bisa membuat saya jadi cengeng, tertawa (mungkin terbahak-bahak sampe kencing-kencing, hehe enggak deng), tersenyum, terharu, berkaca-kaca, teriak sekencang-kencangnya ketika saya ketakutan melihat adegan yang sangat horor, atau mungkin ingin muntah ketika menyaksikan adegan yang menjijikkan.

Menonton film seperti memberi sensasi dan atmosfer yang berbeda daripada kegiatan lain. Seperti ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika melihat refleksi dari beberapa tokoh dalam setiap jalan cerita.

Kadang menonton sebuah film tertentu seperti sedang menyaksikan jalan hidup saya sendiri dan mendapat sentilan juga sindiran dari beberapa adegan dan kata yang diucapkan oleh para pemainnya. Tapi terkadang menonton film bisa jadi hanya sekadar, mungkin hanya sekadar melihat ciri khas aktris atau aktor tertentu (seperti mendengar dan melihat tawa juga senyum khas Julia Roberts atau melihat gigi kelinci dan mendengar suara khas Kristen Steward ketika sedang berbicara dengan nada tinggi), atau sekadar senang melihat anak kecil yang manis, pintar, banyak akal, lucu dan menggemaskan, atau sekadar menghilangkan rasa bosan yang mendera oleh karena rutinitas tiap hari, atau bisa jadi bukan hanya sekadar.

Bukan hanya sekadar menonton sebuah film, yang beberapa orang yang tak menyukai film akan mengatakan “itu ‘kan cuma film dan sudah tertulis.”, namun justru dari film itu kita belajar banyak. Belajar menghargai karya seseorang, ada aktor dan kru di dalamnya yang bekerja keras mewujudkan sebuah cerita yang layak ditonton, penulis dan sutradara yang membuat film bukan hanya sekadar menyajikan cerita namun memberikan sebuah pesan baik untuk penonton.

Akhir cerita yang menyenangkan dan mendapatkan kata-kata atau kalimat istimewa dan indah seperti mengembalikan kebahagiaan batin yang hilang.

Leave a Reply

Next Post

Connie Talbot

Thu Jan 3 , 2013
  Connie Talbot merupakan salah satu penyanyi berbakat. Sejak ia menjadi fenomenal ketika mengikuti ajang pencarian bakat Britain’s Got Talent tahun 2007, hampir seluruh dunia mengenalnya. Dengan suaranya yang indah menyanyikan lagi Over The Rainbow pada saat itu ia baru berusia enam tahun, ia memikat banyak orang dan membuat mereka […]

Kamu mungkin suka