Airmata Ibu tak bisa berhenti mengalir ketika memandangi ragaku terbujur kaku dibungkus selimut putih dengan selang yang menempel di salah satu bagian wajahku. Selang itu membantu mempertahankan nafasku agar tetap berada dalam jasadku. Selang yang lainnya menempel di tanganku untuk memberi tubuhku cairan sebagai pengganti makanan daya tahan tubuh yang hilang.
Selama beberapa minggu jasadku terbaring di ranjang ruangan yang penuh dengan alat-alat medis yang tak kukenal namanya. Hidupku dibantu oleh alat-alat itu.
Ibu tak pernah beranjak dari sisiku. Ia terus menjaga dan melihat perkembanganku meski rasa kantuk menyerangnya, meski tubuhnya sudah tak tangguh lagi. Ia telah memberikan segalanya padaku. Doa yang teriring dengan airmatanya terus dipanjatkan untukku yang tak berdaya membalas semuanya.
Orang-orang silih berganti melihatku sambil mendoakanku.
Tiba-tiba aku tak lagi merasakan sakit itu. Semuanya seperti sudah lepas dari jasadku. Aku seperti sudah terbebas dari semua rasa sakit yang menggerogoti seluruh jaringan sel anggota tubuhku. Namun aku mulai mencari tahu tentang keberadaanku, dan siapa yang membawaku ke tempat asing ini.
Kemudian di depanku tampak seorang makhluk suci, bersih, dan lembut sedang tertidur pulas meringkuk di tempatnya. Ia terlihat sangat nyaman di tempat sempit itu. Aku tak berhenti memandang makhluk mungil itu. Ia mulai bergerak dan membuka matanya yang sangat jernih dan ia melihatku. Mata kami saling bertemu.
“Hai,” aku menyapa dan tersenyum padanya. Ia tak merespon sapaanku. Mata indahnya masih saja menatapku.
“Tenang, jangan terlalu banyak bergerak. Kamu akan menggelitik perut ibumu, dan akan membuatnya sedikit tak nyaman. Aku takkan menyakitimu,” Kataku.
Ia terlihat nyaman, menikmati dan merasakan buaian kasih perempuan itu.
“Siapa dia?” Sorot matanya seperti bertanya perihal itu padaku.
“Dia akan menjadi ibumu, seseorang yang akan sangat menyayangi dan menjagamu dengan tulus, mendoakanmu di setiap langkahmu, dan ia akan selalu menjadi penerang jiwamu di saat duniamu terang atau pun gelap.”
“Dan siapa dia?” Mata bening itu menunjukkan rasa ingin tahu yang dalam.
“Dia akan menjadi ayahmu, seseorang yang akan menuntun jalanmu, selalu menjaga dan melindungimu juga ibumu. Mereka berdua akan menjadi pelengkap jiwamu.”
Makhluk menggemaskan itu perlahan bergerak memutar posisinya 90 derajat. Rasanya aku ingin menyentuh jari-jari mungilnya, merasakan halus dan lembut kulitnya, dan mencium wangi surga dari aroma tubuh dan jiwanya yang masih murni.
Tapi tiba-tiba sesuatu mulai menarikku dari tempat itu.
“Sayangi dan kasihi mereka seperti mereka menyayangi dan mengasihimu pada saat ini, selalu bahagiakan dan doakan mereka,” pintaku sebelum aku pergi meninggalkan tempat itu.
Sayup-sayup aku mendengar dengungan lantunan ayat suci terngiang-ngiang di telingaku. Lalu beberapa orang memanggil-manggil namaku dan terdengar isakan-isakan mereka. Ayah berbisik di telingaku. Perlahan-lahan ia menuntunku untuk melafalkan kalimat yang terasa sukar sekali aku ucapkan. Sambil terus dituntun Ayah, aku mengikuti ucapan itu dengan terbata-bata seperti bayi yang baru belajar berbicara.
Akhirnya, di atas pembaringan itu, dengan setulus cintanya, Ibu mencium pipi pucatku untuk terakhir kalinya.
Sementara di tempat lain, perempuan yang baru saja menjadi ibu, dengan setulus kasih sayangnya mencium pipi merona makhluk mungil itu untuk pertama kalinya. Dalam senyumnya terselip doa dan cinta yang tak pernah terputus untuk makhluk mungil yang dibalut selimut berwarna dan indah di gendongannya.