Satu Kisah (Count On Me)

Teringat salah satu sahabat kuliah. Ia bukan hanya sahabat bagi saya tapi juga seorang guru yang tak pernah menggurui. Ia adalah sahabat yang mengajari saya tentang kegigihan.

Satu kisah telah membuat saya kagum padanya dan terenyuh pada saat kuliah dulu, dan itu tak bisa saya lupakan hingga saat ini.

Saat itu, di kampus sedang diadakan PMB (Pemilihan Mahasiswa Berprestasi). Ia sangat tertarik dengan kompetisi itu karena jika ia menjadi juara, ia akan mendapatkan sejumlah uang untuk membiayai kuliahnya.

Ia tinggal bersama tante, om, juga anak mereka. Orangtuanya hanya mengirimi uang jajan yang tak tentu waktunya. Selama beberapa semester ia memang membiayai kuliahnya sendiri. Ia hanya tidak ingin merepotkan orangtuanya yang berada di kampung.

Dengan kerja keras, ia berhasil mendapatkan juara satu untuk fakultas dari kompetisi itu. Tentunya saya bahagia atas itu, meskipun ia bukan juara universitas.

Kemudian di tahun selanjutnya diadakan kembali kompetisi yang sama. Saat itu kelas sudah sepi. Salah satu dosen saya (yang masih sangat muda), yang merangkap menjadi Ketua Jurusan saat itu, menunjuk saya untuk mewakili jurusan. Penawaran itu langsung saya tolak. Alasan saya menolak karena saat itu saya benci membuat makalah, presentasi, dan sejenisnya (itu adalah salah satu syarat yang akan dikompetisikan dengan mahasiswa lain). Saya langsung menunjuk sahabat saya, yang duduk tepat di samping saya, untuk mengikuti kompetisi itu lagi. Lalu sang dosen mengatakan bahwa ia tak bisa mengikutinya lagi karena ia sudah pernah menjadi juara untuk fakultas.

Spontan ia menangis di bahu saya dan memeluk saya. Dan dengan spontanitas saya memarahi sang dosen (maaf ya Pak, hehe) karena telah membuat sahabat saya menangis. Mendengar berita itu, seperti pemutusan harapan baginya. Hanya dengan mengikuti beberapa beasiswa ia bisa melanjutkan kuliahnya.

Ketika tangisnya sudah hilang, kami meninggalkan kelas. Sesampainya saya di rumah, terdapat satu pesan masuk ke dalam inbox handphone saya. Pesan itu berasal dari sang dosen. Isi pesannya adalah ia menyuruh saya untuk mengatakan pada sahabat saya bahwa ia diperbolehkan mengikuti kompetisi itu. Saya senang luar biasa, dan ingin segera memberi kabar itu padanya. Saat itu ia belum memiliki handphone, jadi saya harus menunggu esok hari untuk memberi kabar gembira ini di kampus.

Hari sudah berganti, dan saya tak sabar untuk memberi kabar sangat baik itu padanya. Satu-satunya orang yang saya ingin temui hari itu adalah ia. Saya tak bisa menahan untuk segera bertemu dengannya dan melihat ekspresi wajahnya. Membayangkan betapa sedihnya ia kemarin dengan berita buruk, dan betapa senangnya mendengar berita yang akan saya sampaikan hari ini.

Jam kuliah pertama sudah dimulai, tapi ia belum juga muncul. Saya menunggu sampai jam kuliah kedua, barangkali ia akan datang. Namun ia tak juga datang sampai kuliah berakhir. Jadi, saya memutuskan untuk ke rumahnya bersama teman saya (yang juga ditunjuk untuk mengikuti kompetisi itu) untuk memberitahu berita ini dengan membawa formulir pendaftaran.

Di dalam kendaraan umum, sang dosen menelepon teman saya bahwa ia ingin ikut ke rumah sahabat saya bersama dua dosen yang lain, yang juga masih muda. Entah alasan apa yang membuat dosen itu dan dua temannya ingin ikut bersama kami ke rumah sahabat saya. Saya berasumsi bahwa ia merasa bersalah karena telah mengatakan hal kemarin, dan kemudian ingin memastikan bahwa sahabat saya baik-baik saja. šŸ™‚

Ia menyunggingkan senyum ketika melihatĀ  saya, teman, dan 3 dosen datang ke rumahnya. Matanya masih nampak sembap, Ia selalu tak bisa menutupi bekas tangis di matanya.

Tak sabar saya langsung memberi tahu berita itu. Kemudian memberikan formulir pendaftaran kompetisi tersebut. Bukan kegembiraan yang saya lihat, tapi ia nampak sudah tak tertarik. Ia seperti sudah tidak memasrahkan biaya kuliahnya pada kompetisi itu. Namun saya tetap meninggalkan formulir itu untuknya.

Saya tahu bahwa ia tidak akan membuang kesempatan berharga ini, meskipun ia tak punya cukup material untuk proses menjalankan kompetisi ini. Dengan seluruh apa yang saya bisa dan punya, saya akan mendukung dan membantunya melewati proses itu.

2 hari menuju kompetisi, ia harus bimbingan dengan sang dosen. Tapi ia tidak datang ke kampus. Saya, teman saya, juga sang dosen khawatir. Dan saya tahu benar bahwa dosen itu sangat menyayanginya. Sang dosen sangat tahu kegigihan yang dimiliki sahabat saya.

Kemudian saya dan teman saya memutuskan ke rumahnya lagi dan memastikan ia baik-baik saja. Namun sayang sekali, ketika kami sampai di rumahnya, ia tidak ada. Tantenya bilang ia baru saja berangkat beberapa menit lalu ke rumah saya.

Akhirnya, kami bertemu di rumah saya. Ternyata, ia belum mengetik satu halaman pun karya ilmiah yang akan dipresentasikan. Saya membiarkan ia mengetik di komputer saya, hingga larut malam, hingga selesai, hingga ia memutuskan untuk menginap di rumah saya.

Kompetisi sudah berlangsung, dan kami menunggu hasilnya. Sebelum mengetahui hasilnya, dengan percaya diri ia menanyakan pada saya tentang apa yang saya mau jika ia jadi juara. Ia bilang saya boleh minta apapun, karena saya sudah banyak membantunya. Saya tidak menginginkan apapun. Sedari awal, saya tulus membantunya. Tak pernah ada di bayangan saya apakah ia akan jadi salah satu juara atau tidak.

Jum’at sore itu, sang dosen menelepon saya. Ia mengatakan bahwa sahabat saya berhasil menjadi juara 1 atau juara universitas, mengalahkan semua kompetitor dari semua perwakilan fakultas yang ada di kampus. Sedangkan teman saya yang satu lagi mendapat juara 2 (kalau saya tidak salah ingat).

Sungguh saya bahagia sekali, sangat amat bahagia saat itu. Dan lagi lagi, saya tak sabar untuk memberi tahu kabar sangat menggembirakan ini padanya. Kebetulan esok harinya ia akan datang ke rumah saya.

Saya sudah memasang wajah bahagia ketika ia mengetuk pintu rumah saya. Ia tersenyum pada saya seolah ia tahu bahwa saya akan memberi tahu tentang hal yang menggembirakan.

Mulut saya tak tahan menahan kabar gembira itu. Ekspresi wajah bahagia tak terkira menyumbul dari wajahnya yang lembut.

Namun di balik keberhasilannya menjadi juara ada hal berat yang sudah ia lewati. Proses itu membuat saya takjub padanya. Ia bercerita bahwa di hari kompetisi berlangsung, ia berjalan kaki pulang dari kampus ke rumahnya dengan jarak berkilo-kilo meter, karena tak memiliki ongkos. Pada saat perjalanan pulang, di bawah terik matahari, beberapa kali ia harus berhenti untuk mengatur nafasnya dan beristirahat.Ā  Sesampainya di rumah, wajahnya pucat sekali dan hampir pingsan.

Saat itu, ia tak bercerita pada saya, karena tak ingin terlalu banyak merepotkan saya. Padahal saya tak pernah merasa direpotkan. Saya yakin dalam setiap langkahnya ia berdoa hal-hal terbaik yang di-aamiin-i oleh para malaikat yang menemani perjalanannya hingga ia menjadi juara umum kampus.

Dari satu kisah ini, ia selalu mengingatkan saya tentang ketekunan, kemandirian, kesabaran, keteguhan, keteladanan, ketulusan, dan kesederhanaan.

Dan ketika melihat video klip ini selalu mengingatkan saya tentang kami. Ia tahu bahwa saya selalu mengatakan ia mirip dengan penyanyi remaja inggris Connie Talbot. Saya mengatakan hal itu karena saya melihat beberapa kemiripan dari bentuk wajah, senyum, kesamaan attitudeĀ dan gesturnya. šŸ™‚

Leave a Reply

Next Post

Don't Ask Me Who Am I and What I Want To Be

Wed Mar 19 , 2014
Aku masih berlari kencang, sekencang-kencangnya, sejauh mungkin. Namun dia masih saja mengikutiku. Dia masih mengintai kemanapun aku pergi. Aku mulai kelelahan, istirahat, lalu menyeka butiran keringat di keningku. Kuatur napas pelan-pelan dan teratur. Selama beberapa detik aku memejamkan mata. “Who are you and what do you want to be?” Suara […]

Kamu mungkin suka