“Assalamu’alaikum.”
Sasa dan Seril baru saja tiba di rumah.
Di salah satu dinding rumah yang cukup besar itu waktu menunjukkan pukul 5 tepat. Sasa menaruh tas punggung dan tas tetengnya di atas meja multifungsi, seperti biasanya. Sedangkan Seril menaruh tas dan barang bawaan sekolahnya di sembarang tempat. Suka suka hati dan mood-nya. Tapi ia lebih sering menaruh tasnya di atas sofa ruang keluarga.
“Mbak Nun, masak apa hari ini?” Tanya Sasa sekadar ingin tahu. Kemudian berlalu ke kamar.
Tak ada suara Mbak Nun menjawab pertanyaan Sasa.
“Mbak Nuun, tolong bikinin teh manis dingin dong?” Pinta Seril, menyusul setelah kata-kata Sasa selesai.
Masih tak ada suara yang menyahut.
Seril langsung mengganti seragam sekolahnya, sedangkan Sasa masih betah dengan berseragam. Mereka berbaring di atas tempat tidur dengan smartphone masing-masing. Berselancar dengan smartphone seperti penghilang lelah mereka yang seharian beraktivitas tanpa gadget tersebut.
“Mbak Nuuuun ….” Seril mencoba memanggil Mbak Nun lagi. “Mana minumanku?”
Suara Mbak Nun belum juga tedengar merespon permintaan anak-anak itu.
“Mbak Nun kemana sih? Dari tadi dipanggil panggil kok nggak jawab jawab.” Seril mulai kesal.
“Aku laper banget nih. Mbak Nun masak apa ya?” Ucap Sasa.
Tak ingin meminta tolong pada Mbak Nun, Sasa bangun dari tempat tidur untuk melihat langsung apa yang tersaji di meja makan.
“Mbak Nun, kok di meja makan nggak apa-apa sih?” Sasa kaget ketika tak ada lauk pauk yang tersaji di meja makan.
“Mbak Nuuuun…!” Sasa berteriak. “Mbak Nun dimana?”
Sasa terus memanggil Mbak Nun, tapi tetap tak ada respon.
“Ril, Mbak Nun nggak ada.”
“Nggak ada gimana maksudnya?”
“Ya nggak ada. Mbak Nun hilang!” Kata Sasa dengan wajah serius.
“Lagi mandi kali!” Jawab Seril santai tanpa melihat ke arah Sasa. Matanya sedang asik melihat cowok-cowok putih bermata kecil alias boyband Korea yang sedang beraksi menyanyikan sebuah lagu.
“Aku udah cari dimana-mana Ril tapi Mbak Nun nggak ada.” Sasa berkata dengan penekanan untuk meyakinkan Seril bahwa ia benar-benar tak menemukan Mbak Nun di setiap sudut ruang rumahnya.
“Lagi keluar beli makanan kali.”
“Motornya ada kok.”
“Ya udah tunggu aja Kak, ntar juga Mbak Nun ada.” Seril masih santai menanggapi kekhawatiran Sasa.
“Tapi aku lapar Ril. Dan nggak biasanya Mbak Nun nggak masak buat kita?!”
*
Sudah jam setengah tujuh, Mbak Nun masih belum berada di rumah.
“Ril, mana nih Mbak Nun kok belum pulang juga ya?” Tanya Sasa sambil melipat mukenanya.
“Ah paling bentar lagi, Kak.” Jawab Seril masih santai.
“Ih kamu Ril dari tadi sebentar lagi terus!” Sasa mulai kesal pada Seril. “Eh jangan-jangan Mbak Nun pergi dari rumah gara-gara Carat Bong kemaren. Dia sakit hati kamu marahin!”
“Jangan su’uzon gitu, Kak Sasa!” Respon Seril.
“Seril, plis deh. Dari tadi kamu nggak ada khawatirnya sama sekali Mbak Nun nggak ada. Selama Mbak Nun kerja di rumah kita, ini baru pertama kalinya Mbak pergi selama ini dan nggak ada kabar.” Sasa berkata sangat dekat dengan wajah Seril.
“Denger ya Ril, kemaren itu kamu sangat keterlaluan nyuruh Mbak Nun nyari kertas Carat Bong di tempat sampah,” Lanjut Sasa. “Gara-gara itu mungkin Mbak Nun pergi.”
Seril tak membalas kata-kata Sasa. Ia terdiam dan raut mukanya berubah jadi ketakutan.
“Terus sekarang aku mesti gimana?”
“Ya minta maaf lah. Tapi sekarang kamu udah terlambat. Mbak Nun udah pergi.”
“Yaaah Kak Sasa gimana dong?!” Seril merengek.
Kemudian dalam hitungan detik air matanya mengalir.
“Kalo Bunda tau Mbak Nun pergi gara-gara aku, pasti aku kena marah Bunda deh.” Seril berkata sambil sesenggukan.
“Ini pelajaran buat kamu, Ril.” Sasa mulai membuka kata bijaknya. “Lain kali kamu harus tau mana perlakuan yang bakal bikin orang sakit hati dan mana yang nggak.”
“Iya iya Kak.”
“Udah Ril, nggak usah nangis gitu. Percuma, Mbak Nun juga udah nggak ada. Ngomong-ngomong aku laper banget nih.”
Sasa berjalan keluar kamar menuju dapur. Lalu membuka kulkas dan berharap ada sesuatu yang bisa ia makan.
“Riiiiil,” Sasa berteriak dari dapur. “Sini deh!”
Sasa menemukan selembar kertas kecil yang di atasnya tertulis beberapa kalimat.
Seril berjalan pelan menuju dapur, masih dengan wajah sedih. Kemudian Sasa menunjukkan kertas tersebut pada Seril. Lalu mereka membaca tulisan itu bersamaan.
“Buat Kak Sasa dan Dek Seril. Mbak Nun minta maaf karena belum sempet masakin lauk pauk buat kalian. Mbak Nun harus pergi pagi-pagi karena bapak Mbak Nun masuk rumah sakit. Makasih.”
Setelah membaca surat itu, wajah Seril berubah ceria.
“Haha tuh bener kan kataku, Mbak Nun tuh nggak akan pergi.” Kata Seril kegirangan.
“Dasar kamu Ril, tadi aja kamu mewek mewek karena ngerasa bersalah. Sekarang kamu seneng banget. Aku bilangin Bunda loh!”
“Ah ah aaaah jangan dong Kak Sasaa..”
Kriiiiiing kriiiiiing. Telepon rumah berdering nyaring.
“Waalaikumsalam, Bun.” Jawab Seril di ujung telepon.
“Ah Bunda nggak bilang dari tadi. Kita nungguin Mbak Nun sampe kelaparan gini.”
“Ok Bun, hati-hati yah.” Seril mengakhiri pembicaraan.
“Kak Sasa, ternyata Bunda udah tau kalo Mbak Nun pergi. Tapi Bunda lupa kasih tau ke kita karena lagi banyak kerjaan.” Kata Seril memberi informasi pada Sasa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaykumsalam.” Sasa dan Seril menjawab kompak. “Ayaaaaaah, kita kelaparan.”
Dengan suka cita Sasa dan Seril menyambut ayahnya. Ekspresi bahagia terpancar dari wajah polos mereka. Meskipun usia mereka sudah beranjak remaja, tapi kepolosan jiwa anak-anak mereka masih muncul pada saat-saat tertentu.
***
Baca cerita sebelumnya Carat Bong