Ia adalah seorang asing, tentu saja, tapi Laila segera mengenali syair-syair Majnun. Musafir melantunkan:
Ketika taman Laila sedang berbunga,
Majnun berbaring di luar sana menderita.
Bagaimana mungkin Laila tersenyum dan tertawa,
Sementara Majnun tersiksa oleh cinta. (Hal. 63, bag. 14)
Tiba-tiba senyuman Majnun pupus dan wajahnya berubah muram. Airmata menggenangi pelupuk matanya, lalu ia pun mulai bersenandung:
Duka di hatiku tak kau hiraukan,
Tangis di mataku tak kau pedulikan.
Dari banyak janji yang kau ucapkan,
Tak satu pun yang kau tunaikan.
Kau bersumpah membuat dahaga ku terpuaskan.
Semua sumpahmu kini kau campakkan.
Mengapa sumurmu dulu kau tampakkan,
Jika isinya hanya kutukan. (Hal. 75, bag. 17)
Siapa pun engkau, dengarkan baik-baik: andai ketika kau sedang terbang mengepakkan sayapmu, kau bertemu dengan kekasihku, sampaikan ini padanya.”
Lalu Majnun mulai bersyair:
Keluarkan aku dari sumur kesepian ini,
Karena cahaya hidupku pudar dalam belantara ini,
‘Jangan takut, karena aku adalah milikmu!” kau berkata,
Bila itu benar, datanglah sekarang, atau mereka akan menemukanku tak bernyawa.
Sekali terperangkap, kambing yang sekarat mendengar terlambat,
Teriakan ‘Awas serigala!’ yang akan membuatnya selamat. (hal 103, bag. 24)
Anggur cinta yang tak terbalas sama pahitnya dengan kayu kina, namun betapa kuatnya hasrat Majnun hingga ia tidak dapat menolak untuk meminumnya. Dan sementara ia minum, syair-syairnya terus mengalir:
Kau penyebab sekaratku berkepanjangan,
Tetapi hasratku padamu membuat kau memaafkanku.
Kaulah sang matahari sementara aku bintang malam,
Cahayamu menyurutkan kerlipku yang kelam.
Nyala lilin iri padamu,
Bunga mawar merekah dalam namamu.
Terpisah darimu? Tak akan pernah!
Cinta dan kesetiaanku hanya untukmu. Aku bersumpah!
Walau tersiksa, aku akan tetap menjadi sasaran cambukmu,
Ketika mati, aku adalah darah yang mengalir di nadimu. (Hal 126, bag. 29)
Majnun bersyair:
Bilamana taman meriah oleh mawar-mawar merah,
Betapa cocoknya menyandingkannya dengan anggur merah delima.
Aku heran, untuk siapa mawar mengoyak pakaiannya?
Untuk cinta sang kekasih, kukoyak pakaianku sendiri!
Bukankah mangsa yang malang menjerit akan ketidakadilan?
Lalu mengapa meributkan halilintar?
Jika korbannya adalah aku!
Bagaikan tetes hujan di saat matahari terbit yang jatuh menetes pada kelopak melati,
Pada pipi sang kekasih, airmataku bercucuran.
Tulip yang memerah di seluruh daratan bagaikan batu delima.
Pencuri mana yang telah merampas intan milikku?
Pepohonan menebarkan wanginya dalam aroma bunga,
Hingga aroma Khotan tak bisa bernafas dalam kekaguman. (Hal. 203, bag. 46)
Hanya dalam kematian Laila dan Majnun diizinkan untuk bersanding. Sebuah nisan dibuat, dan di atasnya ditatah kata-kata berikut:
Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian,
Disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, setia dalam penantian, Satu hati, satu jiwa di dalam surga keabadian. (hal. 230, bag. 53)
Sepenggal syair dari buku Laila Majnun yang ditulis oleh Nizami di halaman terakhir.
Buku diterbitkan oleh Penerbit OASE Mata Air Makna. Diterjemahkan dengan sangat indah oleh Dede Aditya Kaswar.
Baca review buku Laila Majnun