Pagi dan Hal-hal yang dipungut Kembali merupakan buku yang berisi epigram yang ditulis oleh salah satu penulis Indonesia, Goenawan Mohamad. Sebagian dari epigram yang ditulisnya berasal dari ‘kicauan’nya di Twitter. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011, dengan kategori buku Non-Fiksi/Sosial Budaya
Dalam buku ini, terdapat 189 halaman dan berisi lebih dari 400 epigram yang isinya merupakan syair, peribahasa, dan ungkapan-ungkapan pendek yang padat, penuh kearifan, dan penuh gagasan. Kata-kata di dalamnya sangat menarik dan memiliki pesan-pesan, sindiran dan paradoks atas suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini merupakan saripati dan tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang terserak di berbagai media cetak seperti buku dan majalah.
Saya tertarik pada hampir semua kata yang tertulis dalam buku ini. Namun di sini saya akan menulis epigram-epigram yang paling menarik pikiran dan perhatian saya.
Memfitnah itu lebih mudah ketimbang membunuh. Memfitnah lebih mudah ketimbang memberantas korupsi. Maka berkecamuklah fitnah.
Pagi terbaik datang tanpa sisa mimpi— dan hari bisa dimulai dengan harapan.
Kebhinnekaan tak berarti satu daerah memiliki satu budaya. kebhinnekaan berarti tiap kita bisa menyatakan keragaman tiap tempat.
Memihak itu salah. Apalagi memihak karena keyakinan dan untuk orang banyak.
Ideas grow from real life. Including pain and desires.
Melarang buku di zaman ini adalah tindakan bodoh yang mencoba menularkan kebodohan.
Saya tak mengharapkan pahlawan. Orang tak selalu baik, benar, dan berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar.
Kita harus saling mengingatkan ketika kita memilih lupa dan ingatan. Tugas pertama penulis sejarah: jujur. Tugas kedua: rendah hati.
Yang logis belum tentu benar. Untuk memahami ini cukup baca Agatha Christie.
Antivirus buat demokrasi bisa ditemukan, tapi akan ada virus baru. Demokrasi itu kerja dan komitmen yang tak bisa berhenti.
Tiap generasi tampaknya ingin punya revolusi sendiri. Yang kita seriong lupa, tiap revolusi punya kekecewaannya sendiri.
“Para ulama itu polisi Tuhan.” Dan mereka juga jaksa dan hakim, dengan terdakwa yang tak berhak punya pembela dan naik banding.
Yang menodai agama adalah mereka yang memamerkan agama sebagai sumber kekerasan, kebencian, dan pikiran yang serba curiga.
Morning is God’s special gift. In its quietness you can hear murmurs of life coming. The first light is like resurrection.
Sesungguhnya akan merosot agamu ketika kau nilai orang lain berdasarkan ras dan kaumnya, bukan amalnya.
Karena keagungan-Nya yang ajaib, Tuhan tidak berbicara kepada kita dalam prosa.
There is a time to joke and a time to fight, a time to laugh and a time to learn, a time to be silly and a time to be sane.
Kekuasaan Tuhan yang menentukan orang ke surga dan neraka. Kekuasaan negara yang melindungi si lemah yang dianiaya.
Pagi: burung-burung terus saja sibuk, tanpa harus memilih sikap, tanpa dilema, mungkin juga tanpa harap dan kecewa.
Dimulikaanlah orang yang dianiaya kerena keyakinannya dan bangkit untuk tak hendak menganiaya orang lain.
Dibalik pagi, matahari, unggas, dan manusia, adalah nol: ketiadaaan, dasar dari segala dasar. Sering kita takut dan melupakannya.
Pagi: selalu seperti bab baru sebuah buku. Dan sebuah buku adalah, seperti kata Borges, “satu poros untuk cerita-cerita yang tak terhitung.”
Selamat pagi untuk orang-orang beriman, setengah beriman, dan tak beriman. Morning is heaven’s non-discriminatory gift.
Banyak yang repot agar arah kiblat persis. Saya tak tahu kenapa demikian jika kita percaya Tuhan lebih dekat daripada urat nadi kita.
Selamat pagi. Berpagi-pagi dahulu, bersiang-siang kemudian. Berbagi-hati dahulu, berbagi senang kemudian.
Selamat tidur. Besok saya akan bangun dan mencoba mengerti: Tuhan tak menciptakan dunia dimana semua manusia seperti yang saya maui.
Humor itu berbeda dengan menertawakan orang lain. Rasa humor bisa menolong kita untuk tak merasa paling jago sendiri.
Lari pagi adalah cara untuk berteman dengan pohon-pohon. Kita tak menghitung jarak, tak mengukur hasil, tapi mengikuti angsana dan asam ranji.
Selamat mirip pagi, teman-teman. Kadang-kadang tak ada salahnya dengan ilusi. Atau mirip ilusi.
Jika tak ada ketakjuban lagi, setidaknya masih ada pagi.
Perempuan belum tentu ibu. Perempuan tak hanya ibu. Perempuan adalah awal dari ibu.
Indonesia dalam kemenangan, dalam kekalahan, dalam kegembiraan, dalam kesedihan: ia ada dalam hidup kita, kita ada dalam hidupnya.
Saya sering katakan, demokrasi tak menjanjikan masyarakat sempurna. Tapi ia beri lebih banyak peluang untuk melihat cacat dan mengoreksinya.
Selamat pagi kepada dunia yang seharusnya tak ada anak yang diculik, tak ada kebencian yang disebar, tak ada kecurangan yang diorganisir.
Selamat pagi. Selamat pagi pada mereka yang tiap hari memperbaiki sebuah jalan dekat kita yang selalu rusak, yaitu harapan.
Pagi: hidup tak hanya ditentukan oleh judul-judul berita, bukan?
Makian adalah tanda orang lemah yang tak mengerti kekuatan diam.
Benci itu racun. Ketawa itu obat. Senyum itu iklan apotek.
Bayangkan: andai saya hidup di sebuah negeri di mana saya tak boleh memilih iman dan keyakinan sendiri …..
Fajar adalah tanda: hidup dimulai dengan berbagi matahari.
Ketika pendidikan sastra praktis nihil di sekolah-sekolah, perkenalan puisi lewat lagu jadi alternatif yang baik. Sastra dinikmati, bukan dihafal.
Benci itu buta. Tapi benci lebih merusak ketimbang buta.
Kritik yang baik dikemukakan dengan fakta dan penalaran. Bukan dimulai dengan kesimpulan.
Tiap simbol dibuat dan diterima sebagai hasil proses kesepakatan. Bahasa juga demikian.
Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, dimana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: “BACALAH”.