Ashes in the Snow merupakan film drama perang dunia 2 yang diangkat berdasarkan novel yang berjudul Between Shades of Gray yang ditulis oleh Ruta Sepetys. Buku yang terbit pada tahun 2011 ini merupakan debut novel Ruta Sepetys yang menjadi The New Times Bestselling Novel.
Bukan hanya diangkat dari sebuah novel, akan tetapi kisah cerita film ini diangkat berdasarkan kejadian nyata pada saat perang dunia 2. Ashes in the Snow rilis premier dia Los Angeles Film Festival pada 18 September 2018, dan rilis di Amerika Serikat dan Lithuania pada 11 Januari 2019.
Film yang berdurasi kurang lebih selama satu jam empat puluh enam menit ini dibintangi oleh Bel Powley, Lisa Loven Kongsli, Sam Hazeldine, Jonah Hauer-King, Tom Sweet, Peter Franzén, dan masih banyak aktor pendukung lainnya.
Ashes in the Snow mengisahkan seorang gadis 16 tahun, Lina Viskal (Bel Powley), yang bercita-cita menjadi seorang pelukis di tengah-tengah perang dunia 2 yang sedang terjadi di negaranya.
Selama perang dunia 2, saat pasukan sekutu melawan Nazi Jerman, Uni Soviet secara paksa menduduki Eropa Timur. Negara Lithunia, dimana tempat Lina dan keluarganya tinggal, adalah salah satu negara yang disita oleh Red Army Joseph Stalin. Para wanita dan anak-anak tak bersalah dinyatakan sebagai musuh pemerintah Soviet.
Bersama ayah, Kostas Viskal (Sam Hazeldine), Ibu, Elena Viskal (Lisa Loven Kongsli), dan adik laki-lakinya, Jonas Viskal (Tom Sweet), Lina hidup dalam kewaspadaan karena sewaktu-waktu mereka akan menjadi target tentara Soviet.
Ketika Jonas menceritakan kepada ayahnya tentang temannya yang dikeluarkan dari kelas karena membicarakan tentang Lithunia yang akan berakhir seperti neraka, kemudian ia menanyakan pada sang ayah apakah itu benar, Kostas yang bekerja sebagai seorang dosen seni, dengan bijak ia menjawab:
Do you know what other professors and I talk about all day? Perception. Art is perception. In the end, we find, it’s not what you see but how you see it.”
Melihat kenyataan yang terjadi, sang ibu, Elena mematahkan kata-kata Kostas dengan berkata:
We must also remember that life is not painting. Life is not art. It moves and changes and it has realities.”
Kostas dan Elena sesungguhnya orangtua yang saling menguatkan keluarga mereka satu sama lain ditengah-tengah keadaan yang bisa kapanpun akan mencerai berai mereka karena rezim Stalin yang sedang terjadi.
Dan apa yang mereka takutkan terjadi. Elena, Lina, dan Jonas dibawa oleh para tentara Soviet dan dideportasi ke luar Lithunia dengan kereta. Dari situlah kehidupan ‘neraka’ mereka dimulai. Sementara Kostas tidak bersama mereka. Ia dan beberapa laki-laki lainnya dibawa ke penjara.
Musim berganti musim, Lina, Elena, Jonas, juga orang-orang yang dideportasi lainnya telah terampas hak asasi dan hidupnya. Namun Lina berjuang sekuat yang ia bisa untuk bertahan hidup demi ibu dan adiknya. Dan melalui lukisan, ia menumpahkan segala emosi dan sentimentil tentang apa yang ia lihat dan rasakan.
Rangkaian cerita Ashes in the Snow cukup menarik untuk ditonton. Menonton film ini membawa penonton seakan merasakan penderitaan dan kepiluan masa itu. Seperti film-film yang mengangkat isu tentang perang, pesan moral yang dapat diambil dari film ini pastinya adalah, bahwa perang telah dan akan selalu merampas semuanya; hak asasi, nyawa, kebebasan, kedamaian, dan lain-lain.
Layakkah film ini untuk ditonton? Pastinya sangat layak, apalagi bagi kalian yang menyukai film sejarah atau pun kisah nyata.
Beberapa kata-kata menarik dan penuh makna tentang sebuah harapan juga diselipkan dalam dialog di beberapa adegan dalam film ini.
Di akhir cerita dituliskan tentang fakta-fakta yang terjadi selama dan ketika perang telah berakhir. Kemudian diakhiri dengan sebuah kutipan:
In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invisible summer.” -Albert Camus-
Nilai: ∗∗∗∗4/5