Biara, pendeta, dan biarawati adalah bagian utama yang dihadirkan dalam film The Dawn.
Berlokasi di Pennsylvania tahun 1922, seorang ayah, William (Jonathan Bennett), membunuh semua anggota keluarganya kecuali anak pertamanya, Rose (Devanny Pinn), yang berhasil melarikan diri.
Rose yang masih remaja dibawa ke biara untuk tinggal disana dan diambil sumpahnya menjadi seorang biarawati ketika ia sudah dewasa. Alih-alih menjadi lebih tenang dan nyaman berada di biara selama bertahun-tahun, Rose malah tak bisa lari dari masa lalunya tentang ayahnya. Ingatan buruk itu bukannya mati, malah berkembang ke dalam kehidupannya.
Film The Dawn merupakan film horor psikologikal. Tak ada penampakan hantu atau pun adegan berefek jumpscare yang saya rasakan ketika menyaksikan film yang berdurasi selama kurang lebih satu jam tiga puluh menit.
Film yang ditulis oleh Elliot Diviney ini tidak seperti film horor Nun, The Bad Nun, atau film yang berpakaian biarawati. Cerita film ini lebih kepada masa lalu yang tak bisa dihilangkan dan terus berkembang di kepala si tokoh utama hingga ia tak tahu mana mimpi buruk dan realita.
Tema psikologikal lebih dominan dalam cerita The Dawn. Oleh karena itu, adegan horor sangat minim ditampilkan dalam film ini.
Plot The Dawn cukup datar menurut saya, bisa dibilang ceritanya sangat monoton. Film yang disutradarai oleh Brandon Slagle ini seperti menyajikan cerita yang berulang-ulang tentang masalah yang dihadapi oleh Rose.
Mengangkat tema relijius, beberapa baris kalimat yang berhubungan dengan ketuhanan mengisi cerita The Dawn melalui karakter Biarawati Agnes (Heather Wynters) dan suster Ella (Stacey Dash). Diantaranya adalah:
You lost your family. God is your family and we are your family.“
It’s not about being right. It’s about being peace.”