Aku pernah menceritakan sekali tentang Ana pada Emma. Tapi Emma tak pernah ingin tahu tentang masa laluku lebih jauh. Ia hanya merespon sekadarnya. Baginya kita hidup bukan untuk masa lalu. Mengenalnya selama 3 tahun, ia telah membuktikan hal itu. Lagi, itu yang membuatku sangat mengagumi sosok Emma.
Emma adalah perempuan yang ambisius dan pekerja keras. Ia sangat fokus pada tujuannya. Kami sering menghabiskan waktu hanya membicarakan tentang pekerjaan.
“Aku pamit ya, Mas.”
“Hati-hati. Langsung kasih kabar kalo sudah sampai, ok!” Ujarku sambil memeluk Emma.
Setelah mengantar Emma ke bandara pagi-pagi sekali, Sabtu pagi ini aku harus ke kantor karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Semoga tak sampai sore pekerjaanku selesai karena rencanaku setelah itu adalah menjenguk Ana Sabtu ini.
“Mas Damar, ini ada titipan dari Mas Danu.” Pak Toni, OB yang sudah bekerja selama hampir 10 tahun di perusahaan ini memberiku berkas penting yang harus kupelajari.
“Loh Pak Toni lembur juga hari ini?”
“Iya Mas. Pak Windi nyuruh aku beres-beres ruangannya.”
Pak Windi, dia adalah bosku yang selalu bergantung padaku atas setiap keputusan yang harus dia ambil. Pagi ini pukul 10 kami akan mengadakan meeting. Aku berharap pertemuan tak berlangsung lama.
Mas, aku sudah sampai
Emma memberi kabar melalui pesan WhatsApp, bersamaan akhir dari meeting pekan ini.
Aku bergegas ke toko buah untuk membeli jeruk yang akan kubawa untuk Ana dan penghuni rumah singgah lainnya. Jeruk adalah buah kesukaan Ana dan beberapa pasien di rumah singgah itu.
Dibantu Mang Idin, jeruk sepuluh kilo yang aku beli dibawa masuk ke ruang kepala rumah singgah Damai Jiwa, Bu Rina, yang sekaligus pemilik rumah singgah itu yang ia bangun bersama suaminya yang berkebangsaan Inggris, Pak Danny. Bu Rina mengurus semua kebutuhan rumah singgah, sedangkan Pak Danny bekerja sebagai kontraktor juga mencari donatur untuk rumah singgah ini tetap berjalan seperti yang diharapkan. Mereka memiliki 2 anak. Anak pertama mereka perempuan, Nadya, berusia 13 tahun dan anak sulung mereka laki-laki, Adam, berusia 9 tahun.
Menurut cerita Bu Rina, rumah singgah ini selalu mendapatkan pasien baru setiap minggunya. Sementara untuk membuat pasien sembuh membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk benar-benar sembuh secara lahir batin, atau ia harus menunggu keluarga mereka datang menjemput. Jika sudah sembuh dan tak ada yang menjemput, mereka akan tetap tinggal di rumah singgah. Bu Rina dan Pak Danny tak akan membiarkan mereka tinggal di jalan.
“Apa ini Mas Damar?” Tanya Bu Rina dengan senyum khasnya menyambutku dari balik meja kerjanya.
“Cuma jeruk kok, Bu Rina.”
“Jeruk kok cuma sih, Mas. Ini lebih dari cuma buat kami di sini.”
Aku tersenyum lebar.
“Saya ambil 3 buah untuk Ana ya, Bu.”
“Anu Mas Damar, sepertinya Ana tidak bisa ditemui hari ini ….”
“Kenapa, Bu?” Aku memotong kata-kata Bu Rina.
“Mmm maaf Mas, Ana tadi pagi mengamuk karena bunganya diambil pasien lain dan dia nyerang pasien itu sampe terluka,” Bu Rina berhenti sejenak mengambil nafas pendek dan membuangnya, “terus mau nggak mau kita harus kurung dia untuk sementara waktu sampe dia kelihatan tenang.”
“Oh gitu.”
“Tapi kalo Mas Damar cuma mau liat aja, boleh kok.”
Mang Idin mengantarku ke tempat Ana dikurung. Ruangan itu terletak di ujung berderetan dengan beberapa ruang yang lain.
Dari kaca aku melihat Ana sedang berada di atas ranjang menghadap sisi kanan dengan kaki menekuk. Tak terlihat jelas apakah ia sedang tidur atau tidak. Kakinya sesekali bergerak maju mundur. Aku tak bisa melakukan apapun selain mendoakannya selalu baik-baik saja.
Setelah mengambil nafas panjang dan membuangnya, aku beranjak dari depan kaca dan meninggalkan Ana. Tak jauh dari ruangan itu, pandanganku tertuju pada bocah laki-laki yang sedang berdiri di depan kaca sama seperti yang kulakukan barusan.
Aku berdiri tepat di sampingnya. “Siapa itu, Dek?”
“Ibu, Om.” Jawabnya berusaha tegar.
“Kenapa?”
“Sejak Ayah meninggal, keadaan jiwa Ibu perlahan memburuk dan terus memburuk karena kelalukan kakakku yang sulit diatur.”
Sambil mengusap kepala anak itu, aku menatap perempuan paruh baya itu sedang berbicara sendiri sambil meringis sesekali di pojok ruangan.
“Kalo Om, jenguk siapa?”
“Temen Om.”
“Siapa namanya?” Bocah itu bertanya sambil melihat ke arahku.
“Ana.”
“Oh Mbak Ana.”
“Loh kamu kenal Ana?”
Bocah laki-laki itu mengangguk. “Kalo Mbak Ana lagi di luar ruangan, aku sering ajak obrol dia. Yaaaa walopun dia nggak pernah bales omonganku.”
“Sudah lama kamu kenal Mbak Ana?” Tanyaku sedikit antusias pada bocah yang belum kuketahui namanya.
Bocah itu menganggukkan kepalanya sekali. “Dari awal Mbak Ana masuk kesini.”
(bersambung …)