Jatuh Cinta (4)

Aku membiarkan Bu Patra berada di sampingku. Kali ini usaha Mbak Putu untuk mengusirnya dariku tak berhasil. Sepertinya berada di sampingku membuat Bu Patra sangat nyaman. Ia justru kelihatan lebih tenang.

“Bu Rina dan Pak Danny pernah mendatangkan seorang psikiater untuk Mbak Ana, tapi hasilnya nihil setelah dilakukan selama beberapa bulan. Bu Rina nyerah dan membiarkan Mbak Ana seperti yang sekarang ini.”

Aku hanya menyimak perkataan Mbak Putu tanpa merespon kata-katanya. Sementara Bu Patra masih asyik dengan dunianya. Pandanganku sesekali ke arahnya dan ia selalu meresponku dengan senyum lebar. Wajah setengah tuanya nampak sangat berseri-seri karena aku membiarkannya berada di sisinya dalam waktu yang terbilang cukup lama dari biasanya.

“Kalo menurut saya Mbak Ana itu mengalami banyak trauma dalam hidupnya.” Mbak Putu melanjutkan. “Saya sering perhatikan perilaku Mbak Ana yang lebih banyak diam daripada pasien lain yang lebih agresif. Tapi jika ia merasa terusik atau diganggu oleh pasien lain, ia bisa sangat marah sejadi-jadinya dan melukai bagian tubuhnya. Kita sering dibuat kelawahan buat meredam amarahnya dengan harus mengikat tangan dan kakinya di ranjang. Tapi untunglah pagi ini tangan dan kaki Mbak Ana nggak perlu diikat karena amarahnya mampu kami redam.”

“Separah itu kah?”

“Iya Mas.” Jawab Mbak Putu antusias. “Tapi kalo saya perhatikan lagi, sejak Mas Damar datang menjenguk Mbak Ana, dia kelihatan nggak terlalu agresif jika sedang marah. Mmmm maaf Mas Damar, kalo boleh tahu Mas Damar ini siapanya Mbak Ana.” Mbak Putu bertanya penuh penasaran.

Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Mbak Putu yang sesungguhnya pertanyaan itu cukup lumrah tapi membuat detak jantungku berhenti sepersekian detik. Hari ini keempat kalinya aku datang ke rumah singgah ini, dan baru hari ini seseorang menanyakan hubunganku dengan Ana.

“Kalo bukan keluarga atau saudaranya, lalu Mas Damar ini siapanya Mbak Ana?” Mbak Putu masih penasaran karena aku tak langsung menjawab pertanyaannya. “Mas Damar mantan pacarnya Mbak Ana ya, hehe?!” Mbak Putu menggodaku.

“Saya temen lamanya Ana.” Akhirnya aku menjawab. “Kami sudah lama sekali nggak bertemu dan berkomunikasi. Dan sebulan lalu saya anter temen saya ke sini, nggak sengaja liat Ana. Lalu memastikan apakah dia Ana temen saya, ternyata sama persis.”

“Terus Mas Damar kenal sama keluarga Mbak Ana?”

“Kenal, tapi sejak mereka pindah ke Bandung, saya udah nggak tahu lagi tentang mereka. Jadi, saya juga bingung mau kasih kabar ke siapa tentang keadaan Ana.”

“Oh jadi karena itu Mas Damar menyempatkan menjenguk Mbak Ana?”

Aku tak menjawab pertanyaan Mbak Putu. Berpikir apa sebenarnya alasanku menjenguk wanita yang sudah lama hilang dari hidupku. Apa yang membawaku datang ke tempat ini untuk keempat kalinya dan mungkin akan lebih dari ini.

“Mas Damar, aku permisi dulu ya. Sepertinya ada pasien yang berkelahi.”

Secepat kilat Mbak Putu beranjak dari duduknya, dan berlari ke arah selatan dimana tempat keributan terjadi. Sedangkan Bu Patra masih nyaman berada di sampingku sambil memainkan kain sarung yang selalu ia bawa kemana pun. Mang Idin bilang kain sarung itu selalu dianggap kain sarung milik anak laki-lakinya.

Sebelum aku pulang, langkahku menuju ruangan dimana Ana dikurung untuk melihat keadaan terbarunya. Kali ini ia tidak sedang di atas tempat tidur, tapi duduk menghadap jendela. Ya, tepat di hadapanku. ia menatap jendela tapi dengan pandangan kosong. Kami saling bertatapan, akan tetapi pandangan Ana tak searah dengan tatapanku padanya.

Tanganku menempel pada kaca jendela dan jari telunjukku mengetuk kaca itu beberapa kali untuk menghidupkan pandangan mata Ana. Tak lama kemudian, Ana seperti merespon ketukan itu dan beranjak dari tempat tidur, jalan perlahan menuju ke arah kaca jendela, ke arahku.

(bersambung …)

Leave a Reply

Next Post

Jatuh Cinta (5)

Thu May 7 , 2020
Ana berjalan dengan langkah pelan menuju ke arah kaca jendela, ke arahku. Mata kosongnya bertemu dengan mataku. Jantungku berdetak lebih cepat ketika Ana berdiri tepat di hadapanku yang dibatasi oleh kaca. Tak lama setelah itu, ia membungkukkan badannya yang ramping, mengambil setangkai batang bunga yang sudah kering, kemudian hilang dari […]

Kamu mungkin suka