“Ayolah, Dam, cerita sama gue, Ana itu siapa lo?” Sifat ingin tahu Diana masih belum berubah.
Meskipun pertanyaan itu membuatku sedikit risih, namun Diana mampu mencairkan suasana canggung kami karena sudah lama tak saling komunikasi dan keadaan kami yang sudah berbeda.
“Ceritanya panjang, Di. Nanti kalo lo udah ketemu Ana, pasti gue ceritain. Atau mungkin lo bisa cari tahu sendiri!” Balasku menggoda untuk semakin mancairkan suasana.
“Bu Rina, kenalkan, ini Diana temen SMA saya. Pekerjaan Diana sebagai psikiater yang sudah menangani banyak pasien. Boleh yah dia liat keadaan Ana?”
“Monggo, silakan, Mas Damar. Saya malah seneng kalo ada yang memperhatikan dan menghibur pasien di sini.” Sambil berkata tangan Bu Rina terbuka menyambut kami. “Silakan, Mbak Diana.”
Seperti biasa, Bu Rina selalu menyambut siapapun yang datang dengan niat baik. Dan hal yang membuatku sangat respek padanya adalah sejak pertama kali aku datang ke tempat ini, ia tak pernah ingin tahu tentang apa hubunganku dengan Ana yang bukan kerabat atau pun keluarga Ana.
Bukan hanya Bu Rina yang menunjukkan sikap respek pada siapapun, tapi Pak Danny dan anak-anak mereka pun menunjukkan hal yang sama.
“Lo udah sering ke sini, Dam?” Diana berkata dengan sedikit berbisik.
“4 atau 5 kali, gue nggak ngitungin. Kenapa?
“Nggak, Bu Rina kelihatannya ramah sekali kayak lo sama beliau udah kenal lama?”
“Bu Rina dan Pak Danny itu seperti penyelamat jiwa yang tersesat penghuni rumah singgah ini. Seperti perantara yang dikirim Tuhan, Di.”
“Gantengnya, solehnya, pinternya Mami….” Selain Bu Rina yang selalu menyambutku dengan hangat, Bu Patra pun tak pernah absen menyambut kedatanganku dengan mengusap-usap daguku.
Diana hanya melirik, ekspresinya sedikit kaget dan tersenyum meledek melihat perlakuan Bu Patra terhadapku. Bagi seorang psikiater seperti Diana yang sudah menangani banyak kasus manusia, ia masih tetap saja sedikit ketakutan dan terperanjak melihat pasien yang proaktif.
Aku membalas senyum meledeknya dan ia tahu itu.
“Lo tau ‘kan, Dam, gue selalu praktek di dalam ruangan dengan pasien yang terbilang tenang bahkan sadar seratus persen.” Diana membela diri.
Dari kejauhan aku sudah melihat Ana duduk di sudut kanan taman, tempat favoritnya. Langkahku menuju ke tempat Ana kali ini sungguh sangat terhibur melihat reaksi yang cukup ekspersif Diana terhadap sikap penghuni rumah singgah ini.
“Hai Ana, apa kabar? Ini aku Damar.”
Respon Ana kali ini berbeda, meskipun tetap tanpa suara. Selama beberapa detik mata Ana melihat ke arahku dan Diana dengan pandangan sinis, tidak seperti biasanya. Kemudian kembali memandang dan memainkan setangkai bunga matahari yang sudah layu.
“Hai Ana, aku Diana.” Dengan suara lembut Diana menyapa Ana sambil berusaha membuat matanya bertemu dengan mata Ana.
Ana kembali dengan reaksi pandangannya yang sinis. Reaksinya kali ini benar-benar ekspresif. Tak lama setelah itu, tangannya menampar pipi kiriku. Tidak sakit, tapi sedikit perih.
“Eeeeeeee Mbak Ana, kenapa?” Mbak Putu datang terperanjak melihat aksi Ana. “Maaf ya, Mas Damar.” Mbak Putu merasa bersalah karena ia tak berada di dekat Ana saat kejadian berlangsung.
“Nggak apa-apa, Mbak Putu.” Kataku sambil mengusap pipi kiriku.
“Maaf Mas Damar, saya harus bawa Mbak Ana ke tempat biasa …”
“Eeee eeh nggak usah Mbak Putu, kalo Ana masih terbilang tenang, biar di sini aja. Ini temen saya Diana mau coba komunikasi sama Ana. Boleh ‘kan?”
Ekspresi wajah Mbak Putu nampak bingung dan ragu, akan tetapi beberapa detik kemudian ia menyetujui permintaanku setelah memastikan Ana memang nampak tenang. Dengan syarat ia tetap berada di dekat Ana untuk berjaga-jaga.
Setelah tangan Ana mendarat di pipiku, ia kembali pada perilakunya memainkan bunga dan memandang objek benda apapun yang ingin ia lihat sesuka hatinya seolah tangannya tak pernah menamparku.
“Gantengnya solehnya pinternya Mami ….” Bu Patra mulai menggangguku.
Aku menarik nafas pendek, lalu menengok ke arah Diana yang sedang menahan tawa.
“Silakan, Bu Diana, mulai lakukan pekerjaan Anda!” Seruku seketika pada Diana untuk membuatnya berhenti dari gelak tawa yang ia tahan.
“Baik, Pak Damar.” Diana membalas seruanku dengan senyum yang tertahan. “Bapak mungkin bisa tinggalin saya berdua saja bersama Ana dan silakan temani ibu ini dulu.” Telapak tangan kanan Diana terbuka menunjuk Bu Patra yang sedari tadi bergelayut di lenganku.
Aku dan Bu Patra duduk di bangku bersebelahan di mana Ana dan Diana duduk. Aku menoleh ke arah Bu Patra yang tak lagi menggelayuti lenganku melainkan sedang asyik memainkan sarungnya sambil sesekali mengatakan kata-kata favoritnya yang sering ia lontarkan untukku dan barisan kata yang tak kupahami. Entah mengapa aku merasa bahwa Bu Patra selalu nampak lebih tenang bila berada di dekatku.
“Bu Patra sudah makan?” Pertanyaan pertama yang kuajukan setelah beberapa kali aku bertemu dengannya.
“Hehhee …”
Hanya itu suara yang keluar dari bibir Bu Patra dengan pandangan mata yang kosong. Melihat matanya yang sayu nampak sekali kehampaan mendalam yang dirasakan Bu Patra.
Aku memandang Bu Patra selama beberapa menit, melihat tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang mulai menua. Aku tersenyum padanya ketika ia menengok ke arahku dengan tatapan mata yang berbeda. Yakni mata seorang ibu yang penuh lara dan kesepian di sisa usianya. Tanganku merangkul tubuh ringannya. Seketika kepalanya bersandar di pundakku dan memelukku erat.
Lalu pandanganku beralih pada Diana dan Ana. Ana tetap pada posisi nyamannya, sedangkan Diana terlihat nampak berusaha keras untuk bisa berkomunikasi dengan Ana. Posisi duduknya kadang sedikit membungkuk kadang sedikit mendangak untuk menjangkau perhatian Ana. Namun tak sedetik pun mata Ana membalas perhatian atau pun menoleh ke arah Diana.
“Teeeeeeet…”
Suara bel nyaring berbunyi tanda pasien harus masuk ke ruangan untuk bersiap-siap menjalankan sholat Maghrib berjamaah.
Para penghuni rumah singgah dibantu beberapa perawat meninggalkan taman. Mendengar suara bel, Bu Patra bangun dari duduknya kemudian berkata padaku:
“Solat yuk!”
Bu Patra mengajakku sambil cengar-cengir memelintir kain sarungnya.
“Ayo Bu Patra, siap-siap!” Ajak Mbak Putu yang sudah bersama Ana.
Ana Berdiri tepat di depanku. Ia masih memandangi bunganya yang layu dan tak menghiraukan siapapun yang ada di sekitarnya. Dalam hati aku berteriak memanggil namanya dan berharap ia melihat ke arahku. Berharap ia menyadari bahwa aku datang untuk membantu menghilangkan rasa sakitnya dan mengubah segalanya.
“Jadi walaupun mereka dengan jiwa seperti itu mereka harus sholat?” Pertanyaan Diana membuyarkan pandanganku.
“Iya, itu salah satu pengobatan di rumah singgah ini. Setelah sholat ada sesi zikir berjamaah, mengaji, dan mendengar ceramah sampe solat Isya.”
Aku dan Diana memutuskan untuk ikut sholat berjamaah di rumah singgah. Taman sudah ditinggalkan para penghuni Damai Jiwa. Aku dan Diana beranjak dari taman dan melangkah ke masjid yang dibangun dari seorang donatur.
“So, gimana pendapat lo tentang Ana?”
“Gw belom bisa menyimpulkan apapun, Dam. Kayaknya gue bakal butuh beberapa waktu buat menarik perhatiannya dan mengajaknya bicara.”
“Oh okay, take your time.”
Aku menuju tempat sholat pria, sementara Diana ke tempat sholat wanita. Suara ponselku berdering pada saat aku sedang membuka sepatuku. Panggilan dari Emma.
“Halo, Em. Kamu gimana di sana? Semua baik-baik dan lancar ‘kan?
“Iya semuanya lancar kok. Kamu gimana? Kok kayak rame gitu sih? Kamu nggak lagi di kantor ya?” Emma memberondongku pertanyaan.
“Iya aku lagi di rumah singgah.”
“Rumah singgah?”
“Kamu inget ‘kan aku pernah cerita tentang temenku yang sakit jiwa!?”
Ketika mengatakan hal itu sebelum Emma berangkat ke Pangkal Pinang, ia tak menanyakan tentang itu lebih jauh. Jadi kupikir aku tak perlu bercerita padanya. Dan kukira ia tak akan tertarik mengetahui hal itu.
“Iya iya, terus kamu ke sana lagi untuk apa? Maksud aku, kenapa harus jenguk lagi? Sebenarnya siapa dia?” Pertanyaan Emma terdengar seperti sedang menekanku dan penuh rasa curiga.
“Em, aku sholat magrib dulu ya.” Aku tak berniat untuk tidak menjawab pertanyaan Emma. “Sholat berjamaah nya akan dimulai. Nanti aku sambung lagi ya, Em.”
(bersambung …)