“Di, kenalin ini istri gue, Emma.” Aku memperkenalkan Emma pada Diana tak lama setelah ia masuk ke dalam mobil yang sedang kubawa.
“Hai Mbak Emma, saya Diana.” Sapa Diana dari bangku tengah dengan semangat.
“Nggak usah pake Mbak, Emma aja.” Balas Emma santai.
Jika dilihat dari umur, usia Emma dan Diana hanya beda satu tahun. Diana lebih tua satu tahun diatas Emma. Meskipun aku dan Diana se-angkatan SMA, akan tetapi usiaku satu tahun lebih tua diatas Diana.
“Oh jadi ini yang namanya Diana?”
“Loh emang kenapa Mbak, eh maksud saya Emma.” Diana masih agak kaku memanggil Emma tanpa embel-embel Mbak. “Damar cerita apa tentang aku? Yang bagus bagus ‘kan?
Diana yang pembawaannya selalu ceria mampu membawa dirinya menyatu dengan karakter Emma dengan cepat. Keduanya saling berbagi pengalaman pekerjaan mereka yang diselingi dengan canda tawa. Aku sebagai laki-laki yang berada di antara dua perempuan yang sama-sama workaholic alias gila kerja tak akan kebagian untuk bercerita atau menginterupsi mereka. Ditambah lagi mereka memiliki hobi yang sama, yaitu memanah.
“Loh, Mas, kenapa berenti?” Emma bertanya di tengah perbincangan serunya bersama Diana.
“Kamu lihat anak perempuan itu, nggak?” Aku menunjuk seorang anak perempuan yang pernah aku temui sedang berada di lampu merah menengadah tangannya kepada para pengguna jalan yang sedang menunggu lampu hijau menyala.
“Oh anak itu.” Diana langsung merespon.” Duuuh gue nyerah deh negur ibu si anak.”
“Jadi lo tahu anak itu?”
Ternyata bukan cuma aku yang geram dengan perilaku si ibu terhadap anak perempuannya, Diana sudah lebih dulu menangani kasus gadis kecil yang bernama Lulu itu. Tidak menangani kasusnya secara profesional, namun beberapa kali Diana mendekati Lulu ketika ibunya tak ada di sekitarnya dan menanyakan banyak hal pada bocah yang berusia 7 tahun itu.
Ketika aksinya tertangkap basah oleh sang ibu, Diana juga melakukan pendekatan beberapa kali kepada sang ibu. Tentunya bukan perlakuan baik yang Diana terima. Tak jarang ia mendapat caci maki dari si ibu karena telah mencampuri urusan hidupnya.
Usaha Diana tidak hanya melakukan pendekatan pada Lulu, bahkan ia memberi uang jajan untuk Lulu selama beberapa waktu agar ia tak lagi mau jika disuruh mengemis, berjualan, atau apapun yang ia lakukan di jalanan. Uang tetap Lulu terima, mengemis pun tetap ia lakoni. Alasannya karena ibunya selalu mencubit dan memukulnya jika ia tak mengemis.
Banyak pekerjaan yang harus Diana kerjakan, Lulu dan ibunya pun tak lagi jadi perhatiannya. Diana sempat mengadukan kasus Lulu ke beberapa lembaga atau pun institusi yang menangani kasus seperti Lulu, namun entah bagaimana Lulu dan ibunya masih berkeliaran di jalan.
“Kita mau turun nyamperin Lulu atau gimana, Dam?” Tanya Diana.
“Nggak usah lah, Mas.” Tukas Emma. “Lain waktu aja. Tujuan kita ‘kan bukan buat ngurusin anak itu untuk sekarang.”
Omongan Emma ada benarnya. Tapi kupikir, ini kesempatan untuk membantu anak itu bersama Diana yang ternyata sudah pernah menangani kasusnya.
“Iya, Dam,” Diana menyetujui kata-kata Emma. “Lain kali aja, karena gue tahu kasus Lulu nggak semudah yang lo bayangkan kalo kita bantu dia sekarang. Tujuan kita ‘kan ketemu Ana, bukan anak itu.”
Baiklah dua suara perempuan memiliki pendapat yang sama. Itu artinya aku tak punya pilihan selain menuruti kata-kata mereka.
“Gue janji deh, bakal meluangkan waktu untuk menyelasaikan kasus Lulu.” Diana masih melanjutkan kata-katanya.
Arus jalan raya yang kami lewati cukup lancar. Tak sampai tiga puluh menit kami sampai di rumah singgah. Hari Minggu ini keadaan rumah singgah cukup ramai. Beberapa penghuni rumah singgah mendapatkan kunjungan sanak keluarga mereka.
Seperti biasa, kami disambut dengan hangat oleh Bu Rina yang saat itu ditemani oleh laki-laki bule yang aku yakini ia adalah Pak Danny. Beberapa kali ke rumah singgah, belum pernah sekalipun aku bertemu langsung dengan Pak Danny. Mengetahui tentangnya hanya melalui cerita dan melihat sosoknya dari foto-foto yang dipajang di ruangan Bu Rina.
“Apa kabar, Mas Damar?” Sapa Bu Rina. “Mbak Diana.” Bu Rina menyalami Diana. Rupanya ia masih ingat dengan Diana. “Dan ini? Mbak siapa?” Tanya Bu Rina yang juga menyalami Emma meskipun ia belum mengenalnya.
“Ini Emma, Bu. Istri saya.”
“Oh ya ya, Mbak Emma. Saya Bu Rina dan ini suami saya Pak Danny.” Bu Rina mengenalkan Pak Danny pada kami seketika Pak Danny berada di samping Bu Rina setelah melayani beberapa tamu yang akan pulang.
“Oh ini Mas Damar temennya Ana, ya?” Dengan aksen bahasa Inggris yang masih terdengar jelas meskipun bahasa Indonesianya terdengar sangat bagus dan jelas Pak Danny sudah tahu siapa aku.
“Silakan silakan…” Pak Danny mempersilakan kami.
“Saya lihat Ana sedang duduk di tempat favoritnya.” Sambung Bu Rina.
Baru kali ini aku datang ke Damai Jiwa di hari Minggu. Suasana rumah singgah ini cukup ramai jika dibandingkan hari biasa.
“Mas, rumah singgah ini selalu serame ini?” Emma bertanya dengan wajah datar akan tetapi menunjukkan ekspresi sedikit tak nyaman. Setahuku ini kali pertama Emma datang ke tempat semacam ini.
“Nggak. Kalo aku aku dateng di hari biasa nggak serame ini kok. Tenang, mereka yang ada di luar ruangan terbilang aman kok.” Aku berusaha meyakinkan Emma yang mulai terlihat jelas ekspresi rasa takutnya.
Berjalan menuju tempat favorit Ana, aku merasa ada yang kurang. Tak ada sambutan khas Bu Patra yang biasa menyapaku.
Dari jarak tiga meter aku sudah melihat Ana yang sedang duduk sambil memainkan bunga yang ada di tangannya. Ia duduk sendirian.
“Hai, Ana. Apa kabar?” Aku menyapanya dengan posisi jongkok supaya ia melihat wajahku.
Alih-alih melihat ke arahku dan membalas sapaanku, Ana malah melihat ke arah Emma yang sedang berdiri di sampingku. Padangannya sama sinisnya seperti ia pertama kali melihat Diana. Mendapat pandangan se-sinis itu, reaksi Emma sedikit kaget sambil mengerutkan kedua aliasnya.
Beberapa detik kemudian, pandangannya melihat ke arahku, dan lagi, ia menamparku. Kali ini lebih sakit dari tamparannya sebelumnya. Bukan hanya di satu pipi, akan tetapi keduanya.
Emma nampak terpengarah dengan apa yang ia lihat. Sedangkan Diana yang berada di sampingnya menunjukkkan ekpsresi wajah dengan sedikit menganga kemudian menutup mulutnya beberapa detik kemudian karena tersadar ini bukan pertama kalinya ia melihatku ditampar Ana.
Respon Emma cukup reaktif melihatku ditampar Ana. Aku yakin ia lupa bahwa Ana adalah perempuan yang sedang mengalami gangguan kejiwaan. Datang dan bertemu orang-orang seperti di rumah singgah ini adalah hal baru bagi Emma. Tangannya hampir terangkat menuju ke arah Ana. Diana dengan sigap mencegahnya sambil menggelengkan kepalanya mengisyaratkan bahwa ia tak perlu melakukan apapun.
“Hai Ana.” Diana menyapa Ana seolah mereka sudah berteman baik. “Masih inget aku ‘kan, Diana.”
Seketika pandangan Ana beralih pada Diana selama beberapa detik, dan berpindah memandang Emma yang sedari awal melihat Ana dengan ekspresi yang tak bisa kubaca lantaran kelihatan berubah-ubah. Baru kali ini aku melihat Emma segugup dan secanggung itu.
Di momen ini aku menemukan sesuatu yang tak pernah kulihat dari cara Ana memandang seseorang atau tepatnya orang baru yang ia temui. Pandangan Ana terhadap Emma tiba-tiba berubah, tak sesinis sebelumnya. Ketika Ana memandang Emma, ia seperti melihat sosok yang sudah lama ia kenal dan berusaha untuk mengingatnya.
“Eeee Mas Damar, Mbak Diana ….” Mbak Putu menyapa kami dan hanya tersenyum pada Emma. “Udah lama Mas?”
“Baru beberapa menit, Mbak Putu.” Jawabku.
“Mbak Ana nggak berbuat aneh-aneh ‘kan, Mas? Tadi saya harus urus Bu Patra …”
“Bu Patra kenapa, Mbak Putu?” Aku memotong perkataan Mbak Putu.
“Bu Patra sakit. Dari kemaren suhu badannya tinggi.”
“Sudah diperiksa dokter, Mbak Putu?” Diana menunjukkan rasa simpatinya pada wanita yang baru sekali ia temui.
Pandangan Ana tak lagi melihat ke arah Emma sejak Mbak Putu menghampiri kami. Sikapnya kembali pada perilaku yang biasa ia lakukan. Namun aku tak melihatnya memegang bunga seperti yang kusangka dari kejauhan tadi, melainkan sebuah tasbih yang melingkar di jari-jarinya.
Setelah menyapa kami, Mbak Putu meninggalkan kami untuk mengawasi pasien lain sekaligus menyapa beberapa tamu yang menjenguk.
“Ana, ini Emma, istriku.” Kataku pada Ana.
Ana langsung merespon kata-kataku dengan melihat ke arah Emma. Lagi, tidak dengan pandangan sinis. Beberapa kali menjenguk Ana, tentang Emma selalu kuceritakan di sela-sela ocehanku untuknya. Barangkali itu yang membuatnya merasa tak asing ketika mendengar nama Emma.
Sesi “wawancara” Diana dengan Ana kali ini ditemani bersama Emma. Pada awalnya Emma tak ingin bergabung di sesi itu. Namun rasa penasaran membuatnya memilih bersama Diana daripada bersamaku. Dan aku membiarkannya selama ia “aman” bersama Ana.
Aku duduk di bangku kosong yang tak jauh dari tempat duduk Ana. Meskipun perilakunya masih tetap sama, namun Ana nampak terlihat lebih tenang dari sejak terakhir aku melihatnya. Meskipun ada orang di sisi kiri dan kanan Ana, pandangannya masih sesekali ke bawah dan sesekali ke atas. Akan tetapi bunga bukan lagi pegangannya. Badannya bergerak ke kiri dan kanan dengan mulut berkomat-kamit seperti orang yang sedang berzikir.
Aku meninggalkan mereka bertiga dan berjalan menuju ruang dimana Bu Patra dirawat. Mbak Putu dengan senang hati memanduku ke ruang tersebut. Beberapa bagian tempat dari rumah singgah ini kulewati karena ruangan itu terletak agak jauh dari tempat yang dilalui orang banyak atau keramaian.
“Silakan, Mas Damar.”
Meskipun sempat agak ragu untuk melangkah masuk ke ruangan yang berisi hanya dua pasien yang sedang sakit ini, dengan pasti langkahku menuju kasur Bu Patra. Wanita yang selalu menyapaku tiap kali aku datang dan pulang sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya. Matanya tertutup rapat, tubuh kurusnya diselimuti kain bercorak, dan sarung yang selalu ia bawa ada di sampingnya.
Aku berdiri tepat di samping tempat tidurnya. Kuusap lengan kanan dan punggungnya secara lembut dan perlahan. Tubuh lemah itu bergerak pelan. Bu Patra membuka matanya. Kata-kata yang biasa terucap dari mulutnya untukku tak terdengar. Ia hanya memandangku lemah.
“Cepet sembuh ya, Bu Patra.” Kataku sambil mengusap rambutnya yang sudah ditumbuhi beberapa uban.
Tak ada respon apapun dari Bu Patra. Ia hanya tetap memandangku sampai aku meninggalkannya.
Beberapa langkah meninggalkan ruangan, terdengar suara keributan dan beberapa pengurus rumah singgah berlari ke arah taman. Kuharap ini bukan Ana yang mengamuk karena kehadiran Emma.
Aku berlari secepat yang aku bisa. Ramainya suara dari arah taman terdengar semakin jelas. Dari jarak beberapa meter dari taman, kulihat kerumunan berpusat di sekitar tempat Ana, Emma, dan Diana duduk. Laju langkah makin kupercepat.
Semakin dekat, semakin jelas apa yang sedang terjadi. Dan lega rasanya bahwa Ana dan Emma serta Diana dalam keadaan baik-baik saja.
Pastinya telah terjadi sesuatu. Ketika aku sampai di tempat kejadian, salah satu pasien di sebelah tempat yang mereka duduki sudah ditangani oleh pengurus rumah singgah. Beberapa penjenguk masih terlihat syok membubarkan diri.
Sambil mengambil nafas panjang, mataku menangkap pemandangan yang tak biasa tepat di depanku. Dengan Ekspresi wajah ketakutan, Ana sedang memeluk Emma.
“Udah, nggak apa-apa, An.” Kata Diana sambil mengusap punggung Ana. “Semuanya sudah diurus Mang Idin, Pak Danny, juga yang lainnya.”
Sambil memeluk, meskipun dengan ekspresi wajah yang datar dan sedikit kaku, tangan kanan Emma juga mengusap punggung Ana. Aku duduk di samping Emma dan wajah Ana persis berada di depan wajahku. Ketika mata kami saling bertemu, Ana melepas pelukannya dan kembali pada perilaku biasanya.
“Jadi, apa yang terjadi?” Aku bertanya dengan rasa sangat penasaran.
“Kami juga nggak tahu gimana awalnya. Tiba-tiba terdengar pasien laki-laki berteriak-teriak dan mengamuk. Di sekitar sini hanya ada Mbak Putu. Mbak Putu nggak memiliki cukup tenaga untuk menenangkan. Sedangkan beberapa pengunjung yang ada rata-rata perempuan yang nggak punya cukup kekuatan fisik atau pun mental untuk menenangkan laki-laki itu. Aku dan Emma harus menjaga Ana dan kami pun tentunya ketakutan.” Diana bercerita.
“Dan pelukan itu?” Aku bertanya sambil melihat ke arah Emma dan Ana.
Diana hanya tersenyum penuh makna tanpa memberi penjelasan apapun.
“Artinya?” Aku masih menginginkan penjelasan.
“Gue jelasin nanti.”
Belum ada pernyataan dari Diana bahwa pekerjaannya sudah selesai. Jadi aku meninggalkan mereka bertiga.
“Halo Om Damar.”
Aku berpikir sebentar mengingat siapa nama anak laki-laki yang baru saja menyapaku.
“Rio, Om. Masih ingetkan?!”
“Oh ya ya. Kamu anak Bu Lili ya.”
Rio menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Bocah laki-laki itu kemudian duduk di sampingku. Kami berbincang banyak tentang keadaannya dan kakaknya juga ibunya. Cerita Rio masih sama. Meskipun aku tahu dalam hatinya begitu sedih, namun bocah itu nampak terlihat tegar.
“Demi kesembuhan Ibu, Om.” Katanya dengan penuh tekad.
“Dam, kita udah selesai.” Kata Diana datang bersama Emma menginterupsi kami.
Aku meninggalkan Rio setelah memperkenalkannya pada Diana dan Emma.
“Jadi, bisa cerita sekarang, Di?” Cecarku masih dengan pertanyaan yang belum Diana jawab.
(bersambung …)