Selesai sesi “wawancara” dengan Ana, kami bertiga tidak langsung meninggalkan rumah singgah. Kami duduk di dekat Ana yang belum beranjak dari tempat duduknya. Bagi Diana ini kesempatan baginya untuk memerhatikan sikap, reaksi, ekspresi, dan tingkah laku Ana lebih dekat dan detil. Emma sama sekali tak keberatan jika berlama-lama di tempat ini. Dari satu kejadian ke kejadian lain yang Emma lihat, ia malah penasaran dengan apa yang dialami Ana dan para pasien di Damai Jiwa ini .
“Jadi?” Aku masih penasaran dengan apa yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Jadi,” Diana memulai ceritanya dengan menarik nafas panjang. “pas ada kejadian ribut-ribut itu, gue lagi tanya tentang siapa aja yang masih dia inget atau orang-orang yang pernah dia lihat, dan suara keributan tiba-tiba terdengar dari arah belakang kita. Mendengar itu, Ana sangat reaktif dan ketakutan dengan nafas berat nggak beraturan dan sedikit berteriak. Emma secara spontan menenangkan Ana dan saat itu juga Ana langsung memeluk Emma dengan kuat, dan sampe akhirnya lo dateng.”
Sambil membicarakan tentang Ana dan rumah singgah, mataku tak bisa lepas dari Ana. Telingaku mendengar semua apa yang dibicarakan Diana dan Emma, tapi pikiranku bertanya-tanya apa yang membuatnya seperti itu. Ketika ia masih sehat seperti perempuan pada umumnya, aku memang tak terlalu mengenalnya lebih dalam. Yang aku perhatikan sekilas, pembawaannya selalu ceria, namun ia memang agak tertutup masalah pribadinya. Aku memang tak sepeduli itu dengan Ana meskipun saat itu ia sangat perhatian padaku.
Satu dua pasien berbeda duduk di samping Ana silih berganti. Mereka tidak saling sapa dan sibuk dengan dunianya masing-masing. Di tangan Ana masih memegang tasbih namun mulutnya tidak komat kamit seperti sebelumnya. Matanya kadang mengarah ke samping dan kadang ke arah kami. Ketika pandangannya ke arah kami, mata hampa yang sering aku lihat tampak sedikit menunjukkan sebuah ekspresi ketika melihat Emma. Seperti ada sesuatu yang mengisi isi kepalanya, yang mengingatkannya pada suatu hal. Entah apa, atau, aku hanya menerka-nerka.
Angin segar bertiup, membuat beberapa daun kuning jatuh dari batangnya sekaligus membuat suasana taman rumah singgah sangat nyaman untuk berlama-lama berada di tempat ini. Adzan ashar berkumandang. Mbak Putu mengajak Ana dan beberapa pasien ke masjid untuk melaksanakan solat ashar berjamaah. Kami pun ikut beranjak dari tempat duduk menuju masjid.
Bu Rina dan Pak Danny sudah berada di masjid ketika aku, Emma, dan Diana sedang berjalan menuju depan masjid. Dengan bersahaja dan penuh kesabaran mereka menyambut semua penghuni dan orang-orang yang sedang berada di rumah singgah ini, tak terkecuali kami. Pak Danny dibantu ustadz Ihsan di bagian laki-laki, sedangkan Bu Rina dibantu oleh anak sulungnya yang sangat cantik di bagian wanita. Mereka mengatur semuanya agar berjalan tertib.
Setelah solat ashar berjamaah, Emma dan Diana berkeliling ke setiap bagian yang ada di tempat ini. Sedangkan aku ingin menikmati sore dengan duduk di taman sambil diam-diam memerhatikan Ana yang kembali ke “singgasana”nya. Bukan tasbih atau bunga layu yang ada di tangannya, melainkan roti. Ana terlihat sangat menikmati roti coklat sepotong demi sepotong. Cara ia makan dan menikmati roti itu seperti perempuan yang sehat secara kejiwaan.
Melihat Ana duduk lurus tanpa banyak bergerak, cantik parasnya muncul tak seperti biasanya. Seorang laki-laki dengan keterbelakangan mental datang duduk di samping Ana. Tangan kirinya menengadah meminta roti yang sedang Ana makan. Mata Ana memandang selama beberapa detik ke arah laki-laki tersebut lalu memberikan sisa roti yang ia makan. Laki-laki setengah baya itu duduk di samping Ana dan makan dengan sangat lahap. Mata Ana melihat ke arahku setelah memberikan rotinya. Aku sedikit salah tingkah terasa tertangkap basah karena memerhatikannya. Secepat kilat aku memalingkan wajahku. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Seharusnya aku tak melakukan itu. Aku telah melewatkan kesempatan untuk berkomunikasi melalui pandangan matanya.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut Emma sekembalinya dari berkeliling rumah singgah. Aku menjawab yang aku tahu, begitu pun dengan Diana memberi tahu tentang kesehatan mental seseorang. Hari mulai gelap. Waktunya bagi kami meninggalkan Damai Jiwa.
Kami beranjak dari tempat duduk untuk berpamitan pada Ana.
“Ana, kami pulang dulu ya.” Diana berkata sambil memeluk Ana.
Emma melakukan hal yang sama, memeluk Ana dengan erat sambil membisikkan sesuatu, “Sampai ketemu lagi. Kamu kuat, Ana. Kamu bisa melewati semuanya.”
Seperti biasanya, aku hanya mengusap rambut Ana yang selalu terurai.
“Hai Ana.” Suara laki-laki asing menyapa dari belakang kami.
Kami bertiga menoleh ke arah laki-laki dengan perawakan cukup atletis dan berwajah bule.
“Oh maaf menggangu.” Meskipun aksen bahasa inggrisnya cukup kental, tapi ia berbicara bahasa Indonesia dengan sangat jelas. “Kalian temannya Ana, ya?”
“Gak apa-apa. Kami udah mau pamit kok.” Aku menjawab. “Iya, kami temannya Ana.”
“Hai.” Ana mengeluarkan suaranya. Suara yang selama ini tak pernah aku dengar.
Kami bertiga terperangah mendengar Ana mengeluarkan kata-kata meskipun hanya kata “hai”. Matanya nampak sumringah melihat laki-laki itu, seperti sudah mengenal lama, seperti sedang menanti-nanti kedatanganya.
(bersambung…)
Baca juga: Jatuh Cinta (10), Jatuh Cinta (9), Jatuh Cinta (8), Jatuh Cinta (7), Jatuh Cinta (6), Jatuh Cinta (5), Jatuh Cinta (4), Jatuh Cinta (3), Jatuh Cinta (2), Jatuh Cinta (1)