Cerita sebelumnya Jatuh Cinta (bagian 12)
“Kalo untuk sementara Lulu tinggal sama kita, gimana Em?”
“kayaknya nggak semudah itu deh, Mas. Ya kan, Di?”
Diana yang sedang menenangkan Lulu hanya menganggukkan kepalanya. Bocah 7 tahun itu masih terisak.
“Oya adik kamu yang masih bayi mana, Lu?”
“Bayi itu bukan adiknya, Dam.” Diana menjawab pertanyaanku. “Anak itu cuma pinjaman untuk mendapat iba dari orang-orang.”
“Untuk sementara, Lulu kita bawa ke rumah dinas sosial.” Diana melanjutkan kata-katanya.
“Nggak mau, Kak. Lulu maunya sama Ibu.” Ujar Lulu terbata-bata dan menahan rasa pedih.
Sejak berada di rumah sakit, Emma hanya diam dan menatap Lulu penuh dengan rasa iba. Kami masih menunggu kabar dari dokter yang menangani Bu Yani, ibunya Lulu. Lulu masih belum mampu mereda rasa sedihnya meskipun kami sudah mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Di lengan dan bahu Diana, Lulu menyandarkan tubuh mungilnya hingga terlelap dengan air mata yang masih menempel di wajahnya. Tak lama dokter datang menemui kami dan mengatakan,
“Maaf, bapak dan ibu keluarga dari ibu yang kecelakaan tadi?”
“Bukan, Dok. Kami bukan keluarganya.” Jawabku sambil bergegas bangun dari tempat duduk dan menjabat tangan sang dokter. “Saya Damar, ini istri saya, dan ini temen saya, Diana, yang beberapa kali menangani kasus Bu Yani. Dan anak ini anak Bu Yani, Dok.
“Tapi kami yang akan mengurus semuanya, Dok.” Seru Diana. “Karena setahu saya, maksud saya, selama beberapa kali saya menangani kasus Bu Yani, sepertinya dia nggak punya keluarga selain anaknya.”
“Saya turut berduka cita. Kami sudah mengurus semuanya, Pak Damar tinggal mengurusi administrasinya. Terima kasih. Baiklah saya tinggal dulu. Permisi.”
Dokter sudah hilang dari pandangan, saat itu juga aku mengurus semua administrasi Bu Yani. Setelah itu kami membawa Lulu ke rumah dinas sosial.
Semalaman Lulu tak berhenti menangisi ibunya. Karena sangat kelelahan, Lulu masih tertidur pulas ketika kami membawanya ke rumah dinas sosial. Dan masih tidur sepanjang perjalanan, hingga sampai di rumah singgah dinas sosial yang diperuntukkan bagi pengemis, gelandangan, dan anak-anak terlantar.
Malam sudah sangat larut. Kami beruntung karena masih ada beberapa petugas yang belum tidur. Setelah Diana mengurus semuanya, aku menggendong Lulu ke dalam kamar anak-anak karena tak tega membangunkannya.
Dengan hati-hati supaya tak terbangun, aku membawa Lulu ke sebuah kamar, kemudian membaringkannya. Di dalam kamar terdapat beberapa anak yang sudah tidur dengan sangat nyenyak. Bahkan di antara mereka ada seorang balita yang tidur dengan dot di mulutnya yang masih bergerak maju mundur.
“Kita nggak punya pilihan lain, Dam, selain membawa anak ini ke sini.” Diana berkata dengan berat hati tapi juga terlihat sangat lega lantaran bocah 7 tahun ini akan mendapat tempat yang layak.
Aku yakin tempat ini adalah tempat yang tepat dan aman bagi Lulu untuk saat ini. Akan ada yang mengasuh dan mendidiknya dengan baik selayaknya anak usia 7 tahun yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Di sini juga banyak anak-anak yang usianya tak jauh berbeda dengan Lulu. Ia akan punya banyak teman di tempat ini. Tanpa berpamitan pada Lulu, kami meninggalkan tempat itu.
Hari yang sangat panjang. Emma dan Diana tak mampu menutupi raut wajah lelah dan kantuk mereka. Begitu pun aku. Namun rasa lega kurasakan ketika mengingat Ana yang menunjukkan kemajuan dan meninggalkan Lulu di tempat yang sepantasnya ia dapatkan.
“kak Diana, Lulu nggak mau tinggal di sini.”
Lulu muncul dari arah belakang kami sambil menangis dan memeluk Diana. Tangan kecilnya tampak kuat melekatkan tubuhnya pada Diana.
“Dam, gimana ini?”
(bersambung)