Cerita sebelumnya Jatuh Cinta (Bagian 13)
Kami semua masih terpaku sekaligus bingung melihat Lulu menangis terisak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku melihat ke arah Diana, kemudian ke arah Emma. Kami hanya saling bertatapan tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulut kami. Sementara Lulu masih menyandarkan tubuhnya di samping Diana dengan sedikit isakan dan mata yang sangat mengantuk.
“Pak Damar, sepertinya anak ini belum bisa ditinggal di tempat ini.” Ucap salah seorang penjaga. “Kalo bisa salah satu dari bapak dan ibu atau mbaknya nemenin anak ini sampai besok atau sampai dia bisa menyesuaikan diri di sini.”
“Di, kamu punya ide? Tanyaku sedikit putus asa.
Diana hanya menarik nafas pendek kemudian membuangnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Namun aku tahu maksudnya. Bahwa ia ingin sekali merawat Lulu untuk sementara waktu akan tetapi ia tak bisa membawa Lulu ke rumahnya karena beberapa alasan dan aku mengerti itu.
“Em,…..” Mataku bergerak ke arah Emma.
“Nggak apa-apa, Mas. Untuk sementara waktu Lulu tinggal di rumah kita.” Tutur Emma merespon kata yang belum aku selesaikan.
“Kamu yakin, Em?”
Emma hanya mengangguk pelan.
Tanpa berpikir panjang dan kami sudah terlalu lelah, aku langsung mengangkat Lulu dan membawanya ke mobil. Lulu tak bereaksi apapun. Ia nampak pasrah dibawa kemana pun asalkan bukan ke rumah panti atau pun rumah singgah. Ingatan tentang rumah singgah seperti memberi rasa trauma yang mendalam. Isak tangis Lulu tak lagi terdengar. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku ketika kugendong. Kulihat matanya tertutup pada saat kutaruh tubuhnya di bangku mobil tepat di samping Diana.
Banyak hal berkecamuk di pikiranku. Urusan Ana belum selesai, sekarang anak 7 tahun ini. Belum ada rencana apapun dengan apa yang ingin kulakukan pada Lulu. Baik aku maupun Emma akan sangat sibuk sekali dengan pekerjaan kami. Semua akan kuserahkan dan percayakan pada Mbak Nur untuk menjaga Lulu semampu yang ia bisa. Selebihnya akan berjalan sesuai dengan yang aku dan Emma bisa lakukan untuk Lulu.
Hari Minggu ini aku dan Emma berencana menjenguk Ana, dan pastinya akan membawa Lulu bersama kami. Namun aku belum memberitahu Diana apakah ia bisa ikut bersama kami atau tidak.
Aku dan Emma mulai membicarakan masalah pendidikan Lulu. Sejak hidup bersama ibunya aku yakin Lulu belum mendapatkan Pendidikan yang baik. Setelah semua urusan surat izin sementara mengasuh Lulu selesai diurus, aku akan mencari sekolah yang tepat untuk Lulu. Dan ini akan menjadi pekerjaan yang menguras waktu, tenaga, dan lain-lain. Mungkin aku akan menyuruh seseorang untuk membantu melakukan itu. Ada seorang teman yang bekerja di bidang ini. Aku berharap ini akan sangat memudahkan segala prosesnya.
“Mbak Nur, Lulu gimana?” Tanyaku pada perempuan yang sudah bekerja denganku hampir 5 tahun.
“Alhamdulillah kemaren anaknya sudah mau makan, Pak. Lumayan banyak.”
Setibanya di rumahku Lulu tak mau bicara dan makan. Kami semua sempat khawatir ia akan sakit atau kenapa-kenapa. Semua cara kami coba namun tidak berhasil. Kadang ia menangis sesenggukan, kadang ia menangis histeris, kadang ia marah-marah ketika kami tanyai sesuatu dengan memukul-mukul benda yang sedang ia pegang, kadang ia hanya diam dan tak melakukan apapun. Mungkin karena ia tak bisa menahan lapar lebih lama, makanan yang disajikan Mbak Nur hari ini ia makan.
“Oh syukur lah.”
“Tapi, Pak, ….. mmmm maaf saya ndak tahan sama baunya.” Mbak Nur berujar dengan ragu-ragu dan tak enak hati. “Sejak anak itu ke sini ia belum mau diajak mandi ataupun ganti baju.
Mendengar pertanyaan Mbak Nur aku tak memikirkan masalah pakaian Lulu. Aku lupa bahwa selain mengurus pendidikan dan makannya, Lulu juga membutuhkan pakaian. Hal itu belum sempat aku bicarakan pada Emma. Kurasa ia yang paling paham masalah ini.
“Oh gitu, nanti saya bilang ke ibu. Biar istri saya yang mengurus.”
Sejak kami membawa Lulu ke rumah, kami belum bisa melihatnya karena kesibukan kami. Kami selalu pulang larut di saat Lulu sudah tidur. Ketika kami berangkat kerja, anak itu pun masih dalam keadaan tidur.
“Em, kamu pulang jam berapa hari ini?” Tanyaku pada Emma dari ujung telepon.
“Mungkin habis magrib aku udah sampe rumah, Mas.”
“Aku boleh minta tolong belikan baju dan beberapa kebutuhan buat Lulu nggak, Em?!”
“Oke, nanti aku mampir ke toko baju.”
“Oke, makasih ya sayang. Aku udah di rumah nih. Tadi aku ada meeting sebentar di luar terus langsung pulang aja.”
Aku membuka pintu kamar yang ditempati Lulu. Kulihat Lulu sedang duduk di lantai memainkan beberapa barang yang ada di atas lantai.
“Lu, boleh Om masuk?”
Ia tak menghiraukan aku yang bertanya berdiri di depan pintu.
“Kamu udah makan?” Tanyaku sambil melangkah masuk ke dekat Lulu yang nampak tak peduli dengan kehadiranku.
Aku mendaratkan tubuhku tepat di samping Lulu. Beberapa detik kemudian menaruh tanganku di kepala dengan rambut yang masih belum berubah sejak kami bertemu di jalan. Masih berantakan karena ia tak ingin siapapun merapikannya. Seperti kata Mbak Nur, bau anak ini sangat semerbak. Aku berusaha tak menghiraukannya agar bisa duduk berdekatan dengannya dan berbicara dari hati ke hati tentang apa yang ia rasakan dan mau. Mbak Nur bilang, ia beberapa kali mendengar Lulu memanggil ibunya dengan suara lirih. Tentu saja anak ini belum bisa melupakan ibunya meskipun ia tak diperlakukan selayaknya anak normal seperti anak-anak lainnya. Dunia yang ia tahu adalah ibunya dan bekerja mencari uang untuk bisa makan dan jajan.
”Kalo kamu butuh sesuatu bilang sama Om ya.” Aku memulai pembicaraan sambil mengulurkan tanganku ke arahnya. “Oya nama Om, Damar. Ini rumah Om dan istri Om namanya Emma. Yang bantu-bantu di rumah ini dan yang bantu kamu juga itu namanya Mbak Nur. Kalo Om atau Tante Emma lagi nggak ada, kamu bisa minta tolong sama Mbak Nur.”
Lulu masih tak acuh.
“Sekarang kita makan yuk, sambil nunggu tante Emma pulang. Nanti dia bawa baju baru buat kamu ganti baju.” Aku membujuk Lulu dengan lembut berharap ia mau menuruti ajakanku.
“Lulu cuma mau Ibu.” Lulu mengeluarkan suaranya dengan nada tinggi dan marah sambil melempar benda yang sedari tadi ia mainkan.
“Om ngerti, Lu.” Aku menahan nada suaraku agar tak terpancing. “Tapi kamu kan udah lihat kalo ibumu sudah meninggal, sudah nggak sama kita lagi.”
Suasana hening. Lulu hanya terpaku menatap lantai.
“Om janji, akan memenuhi semua kebutuhan kamu.” Aku melanjutkan. “Om akan memberikan apa yang kamu mau selama Om bisa dan itu baik buat kamu.”
Air mata Lulu tumpah dan ia menangis tersengguk-sengguk, dari pelan berubah menjadi histeris. Aku menarik nafas singkat lalu membuangnya sambil melihat anak itu dengan miris dan iba. Lalu aku merangkulnya dan tak ada perlawanan darinya.
Mbak Nur membawa Lulu ke kamar mandi. Ia bersihkan seluruh badannya dari kepala hingga kaki. Emma sudah membelikan pakaian baru untuk Lulu. Pakaian itu akan langsung Lulu pakai. Aku harap pakaian itu tak membuat kulit Lulu gatal karena belum sempat dicuci terlebih dahulu.
Dengan badan dan pakaian yang bersih, Lulu sama sekali berbeda dengan Lulu yang aku liat sebelumnya. Anak itu sangat manis dan cantik. Aku dan Emma memandang Lulu tak percaya dengan apa yang kami lihat.
“Nah sekarang kamu udah jauh lebih cantik.” Kata Emma dengan mata sumringah. “Sekarang kamu pasti lapar. Yuk kita makan.” Tangan Emma merangkul Lulu mengarahkan tubuhnya ke meja makan.
Aku senang Lulu akhirnya luluh. Anak itu masih tak banyak bicara jika kami bertanya. Kami pun tidak memaksanya untuk menjawab pertanyaan kami. Aku dan Emma sangat senang melihatnya makan dengan lahap masakan yang dimasak Mbak Nur.
“Hari Minggu kita jalan-jalan ya. Ke suatu tempat.”
Aku akan mengajak Lulu ke rumah singgah. Mengurusi urusan Lulu, rasanya seperti sudah lama sekali aku tak bertemu Ana.
Bersambung …..