Novel ini merupakan novel Trilogi yang terdiri dari: Parvana (1) Sang Pencari Nafkah (The Breadwinner, 2001), Parvana (2) Lembah Hijau (Parvana’s Journey, 2002), dan Parvana (3) Kota Lumpur (Mud City, 2003). Buku ini ditulis berdasarkan kenyataaan hidup dari hasil wawancara sang penulis Deborah Ellis yang melakukan perjalanan ke negara konflik Afghanistan sebagai aktivis anti perang.
Deborah Ellis menelusuri beberapa kampung dan mewawancarai para pengungsi yang hidup dibawah rezim Taliban. Buku terjemahan ini diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2011. Novel ini mendapat pernghargaan dari Middle East Book Award (2002), Ruth Schwart Award (2003), dan Hackmatack Award (2005).
Buku pertama ini menceritakan tentang seorang gadis kecil yang kuat bernama Parvana yang hidup bersama keluarganya di kota Kabul. Kota yang dulunya cantik, aman, dan damai kini nyaris tanpa kehidupan dan seperti kota mati. Rumah-rumah dan perkebunan habis dibombardir oleh Taliban. Hanya tinggal puing-puing dan rasa takut yang masih tersisa.
Para gadis tidak boleh keluar rumah, para istri hanya boleh keluar dengan memakai burqa (penutup wajah) sedangkan para suami yang dicurigai berkiblat pada Amerika langsung dihabisi oleh Taliban.
Parvana adalah seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang terpaksa jadi tulang punggung keluarganya. Ketika Parvana keluar pergi bekerja, ia menyamar menjadi seorang laki-laki.
Sebelum ayahnya ditangkap oleh rezim Taliban, ia ikut bekerja dengan ayahnya membuka jasa membacakan dan menulis surat bagi mereka yang tidak bisa membaca dan menulis surat yang mereka dapatkan dari sahabat atau sanak keluarga.
Pada saat ayahnya ditangkap oleh Taliban dan dipenjara, Parvana benar-benar harus bekerja sendiri mencari penghasilan untuk ibunya, kakak perempuannya (Nooria), dan adik laki-lakinya (Ali). Ia rela mengorbankan hidupnya sebagai seorang perempuan dan harus menyamar menjadi laki-laki sepanjang hidupnya demi kelangsungan hidup keluarganya.
Berbekal kepandaiannya membaca yang ia dapatkan waktu di sekolah, setiap hari ia menggelar selimut di pasar untuk membuka jasa membacakan dan menulis surat. Awalnya ia takut, namun ketika ia bertemu dengan Shauzia yang sama-sama menyamar menjadi laki-laki rasa takutnya hilang dan ia menjadi percaya diri. Mereka menjadi sahabat. Banyak mimpi yang ingin mereka wujudkan.
Pekerjaan Parvana tak selalu menghasilkan uang. Beberapa orang di kotanya mencari uang dengan menggali tulang manusia yang tak terurus jenazahnya. Dalam keadaan terpaksa, Parvana dan Shauzia nekat melakukan pekerjaan itu. Hasilnya bisa 3-4 kali lipat dari penghasilan Parvana di pasar. Dari penghasilan tersebut ia membeli baki, kemudian diisi rokok permen dan barang lainnya untuk dijual. Dari situlah kehidupan Parvana dan keluarganya terus berlanjut.
Kehidupan Parvana di buku sekuel kedua (Parvana, Lembah Hijau), ia menjadi anak sebatang kara. Ayahnya meninggal setelah dikeluarkan dari penjara, sedangkan ibu, kakak, juga adiknya pergi ke desa lain untuk mengantarkan Nooria menikah ke kota lain. Parvana berjalan seorang diri untuk mencari makanan menyusuri kota yang sudah porak poranda karena bom.
Di suatu perjalanan ia mendengar seorang bayi menangis dari dalam rumah. Ia langsung masuk ke rumah tersebut dan membawa bayi itu bersamanya dengan membawa makanan yang masih tersisa dan layak makan dari rumah tersebut.
Berjalan melewati lembah dan bukit bersama sang bayi yang ia beri nama Hasan, membawa Parvana ke sebuah gua yang terdapat seorang anak laki-laki yang bernama Asif yang hanya memiliki satu kaki, yang ia anggap perilakunya aneh. Meski begitu, ia berbagi kebahagiaan dan kesusahan bersamanya.
Ketika mereka tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, mencuri menjadi pilihan yang tak bisa dielakkan. Dalam perjalanan, Parvana, Hasan, dan Asif bertemu seorang anak perempuan bernama Leila yang hidup bersama neneknya yang seperti mayat hidup, masih memiliki nafas namun tak bergerak sedikitpun, lalu akhirnya meninggal dunia karena bom.
Mereka meneruskan hidup dengan berjalan terus dan terus sampai akhirnya menemukan sebuah tempat di mana banyak menampung orang-orang yang bernasib sama dengan mereka. Di sana juga banyak suster yang merawat orang-orang sakit. Di tenda-tenda penampungan tersebut Parvana yakin bisa menemukan ibu, kakak, juga adiknya. Hasan dititipkan untuk dirawat oleh suster. Di tempat ini Parvana mendapat makanan dan minuman. Namun nasib buruk menimpa Leila.
Trilogi buku yang terakhir berjudul Kota Lumpur (Mud City). Kota di mana Parvana tinggal terbuat dari lumpur. Itu karena kota tersebut sudah porak poranda dan hancur, kemudian dibangun kembali hanya dengan lumpur.
Diceritakan Parvana dan sahabatnya Shauzia masih hidup dengan situasi dan kondisi yang sama. Berjuang terus melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk bertahan hidup di kota yang tak pernah berhenti berperang. Namun Shauzia tidak ingin berada di tempat itu selamanya. Dengan foto bunga yang sangat indah yang selalu Shauzia pegang, ia bertekad untuk ke tempat itu, yaitu kota Paris.
Deborah Ellis menceritakan kisah ke dalam buku ini dengan sangat mengalir dan jelas. Seperti membawa pembaca ke dunia di mana Parvana tinggal dengan segala situasi dan kondisinya. Juga merasakan apa yang Parvana dan teman-temannya rasakan.
Pesan yang kita bisa ambil dari membaca buku ini adalah bahwa perang (apalagi perang dengan sesama saudara muslim), apapun alasannya, hanya menyisakan kepedihan dan penderitaan, terutama bagi anak-anak.
Buku yang saya baca ini merupakan buku terjemahan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang ditulis cukup ringan dan mudah untuk dipahami sehingga pembaca dapat merasakan persis rasa dan peristiwa yang dikemukakan.
Dari segi halaman, buku ini tidak terlalu tebal. Jadi, untuk pembaca yang tak terlalu suka membaca buku yang terlalu tebal, buku ini sangat cocok untuk dibaca.
Membaca kisah ini mengingatkan saya pada kisah hidup Malala Yousafzai
Barangkali buku ini sudah tidak beredar di toko buku offline, namun masih bisa ditemui di toko buku online atau pasar e-commerce.