“Mas, kemungkinan aku bakal seminggu lebih di Pangkalpinang.”
“Ok, moga semuanya berjalan lancar. Oya ada paket nih, kok tumben sih aku nggak dikasih tau kalo kamu beli sesuatu?!”
“Oh itu sudah sampe toh.” Jawab Emma singkat tanpa memberi tahuku apa yang sudah ia beli.
“Jadi, kamu beli apa?”
“Nanti juga kamu bakal tau kok.” Emma tetap pada pertahanannya.
Emma bukan tipikal istri yang suka menyembunyikan sesuatu dariku. Dari awal mengenalnya hingga saat ini, ia selalu terbuka dalam hal apapun padaku. Namun jika ia tak ingin mengatakan sesuatu yang setengah aku tahu, itu artinya ia akan menyimpannya sampai waktunya tiba lalu mengatakannya padaku.
Perjalanan menjemput Diana sore ini nampaknya dimulai dengan hal yang tak kuinginkan. Di pertengahan jalan, ban kanan belakangku kempes. Aku menepi dan mengganti ban itu dengan ban cadangan.
Beberapa waktu setelah banku beres, aku mendengar suara keras seorang perempuan. Kutengok dan kucari sumber suara tersebut yang tak jauh dari tempatku berada. Seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi sedang memarahi seorang anak perempuan yang kupercayai anak itu juga anaknya. Anak perempuan yang sedang memegang beberapa bungkus tisu itu dipukul dan dicubit tangannya berkali-kali oleh ibunya.
“Maaf Ibu, ini ada apa ya? Kok ….”
Aku belum menyelesaikan kata-kataku, namun ibu muda tersebut menarik lengan anak perempuannya dan berlalu cepat dariku. Aku tak tinggal diam dengan sikap sang ibu yang kasar.
“Eey tunggu, Bu. Ibu nggak bisa bersikap kasar seperti itu sama anak Ibu sendiri!”
“Udah Mas nggak usah urusin urusan saya.” Wanita muda itu mengabaikan kata-kataku dan tetap menyeret anak perempuannya menjauh dariku.
Ragu untuk mengejar sang ibu dan anak karena aku harus menjemput Diana, aku memilih kembali ke mobilku.
Lagu Yesterday milik The Beatles membawaku pada masa dimana Ana akhirnya benar-benar pergi dari kehidupanku. Tak ada lagi gangguan-gangguan yang menyedot energiku karena kekesalan dan kebencianku padanya, meskipun tak lama setelah itu aku mulai merindukannya.
Dam, aku udah di depan lobby nih.
Pesan dari Diana masuk ke WA-ku.
OK. Aku juga udah mau nyampe ke tempat kamu nih.
Sudah bertahun-tahun aku tak bertemu Diana. Melihatnya hari ini, ia tampak berbeda dari terakhir aku bertemu dengannya. Ia semakin cantik dan matang.
“Well, jadi siapa orang yang harus gue temui hari ini?” Diana bertanya langsung pada intinya tanpa basa basi meskipun kami baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun tak bertatap muka dan saling berkomunikasi.
“Namanya Ana. Dia tinggal di rumah singgah tempat penampungan orang-orang dengan jiwa terganggu. Gue pengen lo memulihkan kembali ingatannya atau keadaannya.”
“Oh okay, mungkin gue liat dulu kondisi seberapa parah kesehatan jiwanya.” Tutur Diana serius. “Mmm kalo boleh tahu, Ana ini siapa lo, Dam? Sodara lo kah? Tapi seinget gue lo nggak pernah cerita atau nyebutin nama Ana salah satu sodara lo deh!”.”
“Bukan. Dia bukan sodara gue ….”
“Terus, Ana siapa?” Diana bertanya sambil mengerutkan kedua alisnya.
Lagi, sesungguhnya pertanyaan Diana nampak biasa saja. Namun entah mengapa pertanyaan itu terdengar seperti pertanyaan yang bersifat intimidasi bagiku.
“Mantan pacar lo?” Diana seperti sedang menginvestigasiku meskipun dengan wajah datar dan tersenyum manis.
(bersambung ….)
Baca juga: https://rinalmatien.com/2020/05/22/jatuh-cinta-7/