Aku menunggu Emma di ruang tengah sambil menonton TV. Sampai detik ini benar-benar tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menganggukkan atau menggelengkan kepalanya ketika aku menanyakan sesuatu.
“Jadi, Ana itu sebenarnya siapa, Mas?” Emma memulai pertanyaan “menembak” ketika ia mendaratkan tubuhnya di atas sofa tepat di sampingku. “Selama ini kamu kok nggak pernah cerita sama aku?” Nada suara Emma sedikit meninggi sambil mengerutkan kedua alisnya.
“Kamu nggak pernah tanya kok sejauh ini!”
“Tanya?” Suaranya makin meninggi. “Kita ini suami istri, Mas. Nggak perlu aku tanya pun seharusnya kamu cerita semuanya ke aku.”
“Ok ok, aku cerita sekarang…”
“Kalo aku udah marah gini kamu baru cerita deh. KEBIASAAN!”
“APA? KEBIASAAN?!” Aku tersulut emosi. “Aku selalu cerita apapun ke kamu. Selama kita menikah, bahkan sebelum menikah pun, nggak ada satu hal pun yang coba aku sembunyikan dari kamu.”
“Oh yah!” Emma meragukanku.
“Kamu denger penjelasan aku dulu dong.” Aku tak mau kalah dan disalahkan. “Jadi Ana itu ….”
“Udah udah aku nggak mau denger penjelasan kamu.” Emma memotong kata-kataku.
Emma meninggalkanku dan berjalan ke kamar masih dengan penuh kemarahan. Kemudian membanting daun pintu. Setelah itu terdengar bunyi sesuatu yang pecah dan suara barang lainnya. Emma tak pernah semarah ini sebelumnya. Aku menyusulnya dengan langkah cepat.
Aku membuka pintu dan mendapati Emma sedang duduk di tepi tempat tidur dengan posisi membelakangi pintu. Aku merasa dirinya masih penuh dengan amarah meskipun tak melihat raut wajahnya. Pecahan gelas berhamburan di sekitar samping tempat tidur.
“Em …” Panggilku dengan hati-hati sambil melangkah pelan mendekati Emma.
“Happy Birthday!” Emma membalikkan badannya dan berkata sambil tersenyum lebar.
Detak jantungku yang sedari tadi berdegup kencang hampir berhenti karena dua kata itu. Aku berdiri tertegun melihat ekspresi Emma yang berubah 190 derajat.
Emma bangun dari duduknya dan memberikan bingkisan yang ia pesan beberapa hari lalu yang aku letakkan di samping meja dan aku sendiri lupa dengan barang itu. Parahnya lagi aku lupa dengan hari ulang tahunku sendiri.
“Maaf ya Mas Damar, aku sengaja nggak ngucapin happy birthday kemaren karena kayaknya kamu lagi sibuk sama yang namanya Ana ya.” Emma berkata sambil senyum-senyum, lalu memelukku.
“Jadi kamu nggak bener-bener marah sama aku?” Aku masih belum yakin dengan apa yang baru saja terjadi.
“Ya enggak lah.” Jawab Emma dengan ekspresi wajah penuh kepuasan karena berhasil mengerjaiku.
“Pak Damar, Bu Emma, baik-baik aja ‘kan?” Tanya Mbak Nur yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan wajah ketakutan.
“Kita baik-baik aja kok Mbak Nur. Maaf ya Mbak Nur udah bikin geger rumah ini.” Emma berkata masih dengan senyuman puas. “Oh ya Mbak Nur, tolong bersihin ini ya. Tadi saya nggak sengaja nyenggol gelas ini. Bener deh nggak sengaja. Hati-hati ya Mbak Nur bersihinnya.”
Kami kembali duduk di sofa. Aku membuka bingkisan rahasia yang ternyata adalah kado untukku yang sengaja Emma rahasiakan dariku. Emma memberiku hadiah sebuah kamera. Rupanya ia tahu apa yang sedang aku inginkan beberapa bulan belakangan.
“Jadi, Ana itu siapa?” Emma kembali bertanya.
Kali ini ia bertanya dengan ekspresi wajah yang serius dan menginginkan jawaban dariku saat itu juga.
“Jadi, mmm ….” Aku memulai penjelasan sedikit ragu. “Ana itu orang yang pernah sangat jatuh cinta sama aku.”
“Terus dia gila gara-gara kamu tolak atau kamu tinggalin, atau kamu apain?”
“Nah itu yang sampe saat ini aku nggak tahu apa penyebab dia bisa gila. Karena setelah aku cuekin dia, sakiti dia, aku permalukan dia, dia nggak pernah gangguin aku lagi. Aku pun nggak peduli dan nggak mau tahu tentang dia lagi saat itu.”
“Terus tujuan kamu jengukin dia selama ini karena apa?”
Pertanyaan Emma barangkali merupakan pertanyaan yang akan ditanyakan oleh siapapun dengan melihat keadaanku yang sudah menikah dan bukan siapa-siapa Ana. Pertanyaan yang akan terdengar biasa saja, namun pertanyaan itu membuatku berpikir keras. Barangkali aku sendiri pun tak tahu mengapa aku harus menjenguknya lagi dan lagi, bahkan hingga menyewa seorang psikiater secara profesional.
“Kapan-kapan aku boleh dong jenguk dia.”
“Hah, kamu mau ke rumah singgah?”
“Why not!?” Seru Emma tanpa ragu. “Siapa tahu dengan ketemu aku, dia bisa ingat semuanya dan jiwanya kembali normal.” Emma melanjutkan kata-katanya, namun dengan nada yang terdengar sedikit ragu.
Entah ini akan jadi ide bagus atau buruk mengingat reaksi Ana pertama kali melihatku bersama Diana. Aku tak menyangka Emma akan tertarik untuk datang ke rumah singgah dan bertemu seseorang di masa laluku yang sesungguhnya tak ingin kubuka lagi. Namun justru Emma akan masuk ke dalamnya. Dan entah akan sedalam apa.
Emma dibantu Mbak Nur menyiapkan makan malam untuk kami. Di atas meja makan, sambil kami menyantap makanan, Emma bercerita banyak hal tentang apa yang ia lakukan di Pangkal Pinang. Membicarakan tentang pekerjaan adalah hal selalu kami lakukan.
Dua minggu tak saling bertemu kami larut dalam pembicaraan apapun dari hal yang ringan sampai hal yang berat. Membicarakan tentang Ana, Diana, dan rumah singgah Damai Jiwa tak luput menjadi salah satu perbincangan kami.
“Gimana kalo besok kita ke sana?” Ajakan itu tiba-tiba keluar dari mulut Emma. “Kamu libur ‘kan? Oh ya sekalian ajak Diana kalo dia libur juga.”
“Besok?!” Pernyataan Emma membuatku sedikit kaget. “Kamu nggak capek? Kamu yakin?” Aku meyakinkannya.
Emma menganggukkan kepalanya dua kali sambil mengangkat kedua alisnya dan tersenyum kecil.
(bersambung …)