Setelah membaca kembali tulisan Don’t Ask Me Who Am I and What I Want To Be, hanya ingin bahagia saja tak cukup. Aku merasa diri bukan siapa-siapa, aku merasa hilang, dan perlahan tak lagi memiliki tujuan hidup. Tak tahu destinasi mana yang harus kutuju.
Jalanku hampir terhenti, hanya perlahan maju dan mundur. Di jalan manapun, aku hanya berjalan mengikuti kata hati tanpa tujuan. Kusadari bahwa ini hal yang mengerikan. Setidaknya aku masih berjalan, walaupun pelan, pikirku. Namun ini tetap mengerikan di saat semua orang berlari mengejar apa yang menjadi tujuan mereka di dunia ini.
Aku masih tak peduli jika semua itu hanya untuk status sosial di mata orang lain, atau apa lah namanya. Aku hanya ingin menikmati sisa hidupku. Lagi, hal itu terdengar mengerikan. Seperti tak memiliki identitas dan orientasi hidup yang samar.
Jika aku bangun dengan tugas yang melelahkan, itu artinya aku tak pernah bangun dalam hidupku.
Tuhan telah membuat siang dan malam, jadi kita bisa bangun dengan mimpi dan harapan baru.
Mungkin seseorang bisa mengunciku di sebuah ruangan yang sempit dan menyesakkan dada tapi tidak dengan imajinasi dan impianku.
Aku menyaksikan lingkungan sekitarku, mengamati, dan melupakan. Ketika waktu telah berubah, kadang aku fokus pada kesempatan yang berbeda. Keraguan, ketakutan, dan ketidakdisiplinan telah menghambat segalanya.
Melihat ke belakang sambil mengatakan andai aku tak pernah ragu dan selalu fokus dengan apa yang aku inginkan dan mampu menghindari diri dari lingkungan toksik yang menjadi penghambat segalanya.
Bangun dengan banyak antusiasme, berjalan dengan penuh harapan, temukan arah kemana tujuanmu selanjutnya dan menjadi sesuatu, apa pun itu labelnya. Jangan lagi berada di tempat yang sama. Temukan dan ciptakan versi terbaikku.
What’s done is done. What’s gone is gone. The lesson that we can take in every uncomfortable situation is we have to keep moving on, or we’ll die.